PROKAL.CO, TANJUNG REDEB – Kasus pembunuhan Orangutan di Kutai Timur beberapa hari lalu, membuat publik Indonesia terbelalak. Pasalnya, Orangutan yang diberi nama Kaluhara 2 itu, tewas dengan 130 butir peluru tersarang di badannya.
Tim Centre for Orangutan Protection (COP) yang dibantu Polres Bontang, Polres Kutai Timur dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pun hanya berhasil mengeluarkan 48 peluru saat otopsi di Rumah Sakit Pupuk Kaltim, Bontang Selasa (6/2) lalu.
Manajer Perlindungan Habitat COP Ramadhani mengatakan, penyebab kematian sementara Orangutan itu diperkirakan karena adanya infeksi luka yang telah menimpanya. Ia juga menerangkan, 130 peluru yang berada di tubuh Kaluhara 2 itu merupakan sejarah baru dalam konflik antara Orangutan dan manusia.
“Lemahnya penyelesaian kasus dan kurangnya kesadaran masyarakat sehingga kasus seperti ini terus terulang,” katanya kepada Berau Post, Jumat (9/2).
Sebab, pembantaian terhadap mamalia dilindungi itu tidak sekali ini saja terjadi. Bahkan di Berau pun pernah terjadi pada 2013 lalu, Tercatat, 6 ekor Orangutan tewas dengan dugaan dibunuh (lihat grafis).
Lambannya kasus penanganan hukum yang dilakukan pihak berwenang pun membuat para “predator” pemburu Orangutan menjadi penyebab masih terjadinya kasus serupa. Dicontohkan Dhani–sapaan akrabnya- seperti Mei 2016 lalu, kasus serupa dengan lokasi yang tidak terlalu jauh berbeda, hingga kini belum terungkap.
“Semestinya kasus ini menjadi hal yang memalukan bagi lota semua. Karena saat ini pemerintah sedang berupaya melakukan strategi dan rencana aksi konservasi Orangutan secara nasional,” ujarnya.
Meskipun sedikit merasa pesimistis, tapi pihaknya akan tetap berkoordinasi dengan pihak kepolisian dan KHLK agar kasus ini bisa terungkap. “Pengalaman dua pekan lalu pembunuhan Orangutan di Kalahien, Kalimantan Tengah bisa terungkap oleh Polda Kalteng. Sehingga kami meyakini ini hanya persoalan keseriusan dari pihak penegak hukum dalam menyelesaikan kasus,” ucapnya.
Dhani juga mengungkapkan dalam rentan waktu enam tahun silam atau sejak 2012 lalu, di Kalimantan Timur terdapat enam kasus yang berkaitan dengan orangutan. Dan lokasinya pun berbeda-beda. “Kalau dirata-rata setahun sekali,” tuturnya.
Kembali menyangkut perihal hukum, ia mengatakan hukuman yang diberikan kepada para pelaku kejahatan hewan yang dilindungi tidak cukup berat atau kurang tegas.
Padahal, apabila para pelaku diberi hukuman berat, maka menurutnya akan menimbulkan rasa jera terhadap pelaku.
Tidak hanya bagi pelaku, namun efek jera juga bakal menjadi pelajaran bagi masyarakat lainnya. “Kami percaya pelajaran terbaik buat pelaku bukan di kelas ketika sosialisasi, tapi penjara,” tandasnya. (arp/rio)