KALIMANTAN Timur yang memiliki luas wilayah sekitar 12,7 juta hektare, dengan penduduk sekitar 3,5 juta jiwa dan luas hutan sekitar 6,7 juta hektare, merupakan salah satu provinsi yang paling diperhitungkan dalam isu perubahan iklim di percaturan global.
Hal ini disampaikan dalam salah satu panel diskusi Indonesia Pavilion yang dilaksanakan di sela-sela Konferensi Tingkat Tinggi PBB (COP22) di Marrakech, Maroko.
Panel diikuti empat pembicara, yaitu Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Indonesia Situ Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Energi Australia Josh Fraydenber, Frances Seymour dari Packard and Lucile Foundation Amerika Serikat, serta Gubernur Kaltim Awang Faroek Ishak. Panel yang dimoderatori Herlina Hartanto dari TNC itu digelar di Indonesia Pavilion arena COP 22, mengambil tema “Meningkatkan Komitmen dan Kemitraan Multi-stakeholder Menuju Pertumbuhan Hijau di Kalimantan Timur”.
“Kami sangat menghargai inisiatif yang dilakukan Kalimantan Timur,” kata Menteri Lingkungan Australia Josh Fraydenber. Tanggapan tersebut disampaikan Josh setelah Gubernur Awang Faroek didaulat untuk memperkenalkan konsep kesepakatan pembangunan hijau yang dikenal dengan nama Green Growth Compact.
Menurut Awang, “Green Growth Compact (GGC) adalah sebuah kesepakatan "kerangka kerja" yang memberikan panduan kepada para pemangku kepentingan untuk mengembangkan rencana, kebijakan, dan tindakan yang lebih operasional berdasarkan peraturan yang berlaku serta praktik terbaik yang diterapkan.
Tujuan utama GGC, untuk mentransformasi pengelolaan sumber daya alam dan mendorong kerja sama untuk mencapai kesejahteraan di Kaltim, demi pelestarian hutan tropis dan penanganan perubahan iklim.
Inisiatif Kaltim ini, menurut Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Indonesia Siti Nurbaya, akan dijadikan sebagai model dan kemudian direplikasikan ke seluruh Indonesia.
GGC dimunculkan untuk menguatkan kembali komitmen Kaltim Hijau yang pernah dideklarasikan pada tahun 2010, sebagai kerangka pembangunan berkelanjutan untuk pengurangan emisi.
Menurut Awang, praktik pengelolaan sumber daya di Kaltim, khususnya di masa lalu, yang tidak sepenuhnya menerapkan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan, telah menyebabkan berbagai dampak negatif terhadap kualitas lingkungan. Tingginya tingkat deforestasi dan degradasi hutan secara signifikan, telah menurunkan keanekaragaman hayati dan menyebabkan berbagai bencana, seperti banjir, tanah longsor, kebakaran hutan, kelangkaan air bersih di beberapa daerah.
Kondisi ini membuat Kaltim merumuskan strategi dalam mengelola sumber daya alam, mengikuti prinsip pembangunan berkelanjutan dengan menyeimbangkan aspek ekonomi dan lingkungan.
Awang memaparkan, Kaltim telah melangkah cukup maju dalam upaya mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan. Di antaranya, dengan menandatangani Deklarasi Rio Branco (2014); aktif berpartisipasi dalam kegiatan REDD +, baik di Indonesia maupun internasional; mengutamakan strategi pertumbuhan rendah karbon; mengeluarkan moratorium izin baru untuk pertambangan, kehutanan dan kelapa sawit; dan mengembangkan strategi dan rencana aksi perubahan iklim.
Kaltim juga telah membentuk Dewan Daerah Perubahan Iklim (DDPI) pada tahun 2011 yang merupakan satu-satunya di Indonesia. Mitigasi dan adaptasi perubahan iklim telah diutamakan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMD) Kaltim tahun 2013-2018 dan dalam Perencanaan Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) untuk tahun 2016-2036.
Meskipun Kaltim telah membuat beberapa kemajuan, Awang tetap ingin mempercepat kemajuan tersebut dengan melibatkan lebih luas, para pemangku kepentingan untuk bekerja sama lebih erat. Untuk itulah, Kaltim kemudian merancang Green Growth Compact.
Menteri Lingkungan Australia Josh Fraydenberg, menyampaikan pentingnya untuk menyeimbangkan antara kepentingan lingkungan hidup dengan kepentingan ekonomi, agar sumber daya yang digunakan sekarang bisa berkelanjutan.
Josh menghargai inisiatif GGC dan percaya bahwa inisiatif ini akan didukung semua pihak. Dia berterima kasih sudah diundang dalam acara yang akan menguatkan kerja sama kedua negara dalam menurunkan emisi gas rumah kaca. Josh juga menyampaikan tentang pentingnya kolaborasi dari para pihak, untuk mewujudkan tujuan GGC yang sudah disampaikan Gubernur Kaltim Awang Faroek Ishak.
Sementara itu, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Indonesia Siti Nurbaya, menjelaskan implementasi GGC yang efektif akan melibatkan dua aspek, yaitu dari sisi pendekatan landscape dan pendekatan rantai suplai dalam pengelolaan sumber daya alam.
Menurut Siti kedua hal tersebut tidak bisa lepas dari pendekatan berbasis yurisdiksi atau berbasis kewilayahan sekaligus kewenangan. Sebagai contoh pengelolaan hutan tidak bisa lepas dari pengelolaan dengan pendekatan landscape dan supply chain dari tingkat pemerintah pusat, provinsi maupun kabupaten. “Inilah sebabnya mengapa inisiatif yang dikembangkan Kaltim ini akan menjadi tumpuan utama pelaksanaan pembangunan hijau,” ujar Siti Nurbaya.
Senada, Frances Seymour dari Packard Foundation menambahkan tentang pentingnya implementasi GGC berbasis yurisdiksi. Dengan basis yurisdiksi, tata kelola sektor kehutanan akan lebih baik lagi.
Frances juga menyampaikan pentingnya akses pemerintah terhadap mekanisme dana karbon berbasis kinerja dan akses terhadap insentif yang lebih baik, dalam memastikan implementasi kegiatan dan keberlanjutannya.
Saat ini Pemerintah Indonesia sedang menyusun Project Document bersama Pemprov Kaltim yang merupakan salah satu mekanisme dana karbon berbasis kinerja.
Sambutan luar biasa dari para hadirin dibuktikan dengan banyaknya respons positif hadirin terhadap para pembicara, khususnya untuk Gubernur Kaltim. Seperti yang disampaikan Nurhayati Assegaf, Ketua Badan Kerja Sama Antar Parlemen, DPR RI, menyampaikan penghargaan atas komitmen yang disampaikan Gubernur Kaltim Awang Faroek.
Respons positif lain datang dari anggota DPR RI lainnya, Satya W Yudha, yang menanyakan tentang keberlanjutan inisiatif tersebut, jika Awang Faroek sudah tidak lagi menjadi Gubernur Kaltim.
Pertanyaan tersebut langsung dijawab Awang. “Pemprov Kaltim sudah menyusun strategi jangka panjang melalui Master Plan Perubahan Iklim Kaltim yang nantinya akan diproses menjadi peraturan daerah, sehingga akan menguatkan strategi dan kelembagaan perubahan iklim di Kaltim dalam jangka panjang,” tutup Awang. (*/udi)