Mengejar Pesawat

- Sabtu, 12 Januari 2019 | 12:29 WIB

TIAP pagi mesti melintas di Jalan Ahmad Yani. Rute tetap saat menuju warung kopi Hoky, di Jalan Niaga. Saya lalu teringat satu toko, yang menjadi langganan saya dulu. Bukan langganan kebutuhan pokok, tapi langganan cuci film. Namanya Toko Medan Raya. Satu-satunya toko yang menjual peralatan kamera, juga layanan cuci dan cetak foto.

Saya masih sering jumpa pemiliknya, namanya Anggin. Dialah yang melayani setiap berurusan dengan foto. Mau cepat atau lambat urusan dia. Kalau cepat, masuk pagi selesai malam. Lambat, tunggu keesokan harinya.

Intensitas berurusan dengan Anggin, sangat sering. Waktu itu, saya masih aktif sebagai koresponden Harian ManuntunG. Semua serba manual. Bekerja manual. Kirim foto maupun berita juga manual. Kadang, hanya beritanya terkirim lewat Faksimile. Mahal lagi. Kalau pengiriman gagal, kirim lagi dan bayar lagi.

Pekerjaan itu mengasyikkan. Kalau liputan seremonial biasa, masih bisa terkejar.  Apalagi, kegiatannya pagi atau malam hari. Yang repot bila ada kejadian luar biasa, itu yang bikin kelabakan. Pengetikan beritanya tidak seberapa repot. Mengirim fotonya yang bikin panik.

Saya harus berurusan dengan Anggin. Rol film tidak dicuci (avdruk), tapi hanya dipotong. Potongan itulah yang dikirim ke Samarinda. Saya harus ke Bandara Kalimarau. Mengejar jadwal pesawat. Mencari penumpang yang dikenal, untuk dititipi amplop berisi potongan rol film. Kalau ok, saya harus menghubungi Samarinda, untuk menjemput ke Bandara Temindung. Itu berlangsung bertahun-tahun.

Saya ingat Pak Jannah, Pak Yus dan Pak Wely, yang bertugas di Bouraq (Bali Air). Saya pasti bertanya, siapa-siapa saja penumpang dikenal yang berangkat hari itu. Dia bisa menyebutkan. Tapi kalau tidak ada, saya terpaksa titip rol film pada kargo. Datangnya juga sama. Hanya beda siapa yang dihubungi petugas di Temindung, Samarinda.

Pengetikan beritanya juga masih manual. Menggunakan mesin tik merek Brother, yang kebetulan huruf “A” nya bermasalah. Kalau huruf “X“ yang rusak tak seberapa. Walau berusaha tidak menggunakan Tip X, tapi tetap saja ada yang salah. Ya, gara-gara huruf “A” yang sering terjepit itu.

Ada lagi hal yang buat saya tersenyum-senyum. Bila ada acara Dharma Wanita atau HUT RI, banyak yang minta difoto. Stok rol saya terbatas. Yang tersedia hanya rol film dengan 36 kali plus bonus 2 kali. Kalau posisi film sudah habis, tapi ibu-ibu minta difoto itulah yang bikin repot. Saya siasati saja, dengan menekan tombol bagian kamera. Bisa bekerja normal hingga berapapun, tapi rol foto tak bergerak.

Teknologi begitu cepat berubah. Era digital membuat satu generasi baru. Tugas-tugas jurnalistik, begitu terbantu. Bahkan dengan HP di tangan saja, sudah bisa bekerja. Tak perlu repot-repot lagi. Yang penting ada paket data dan sinyal telepon. Semua aman.

Di sisi lain, usaha Pak Anggin yang tergusur.  Bersama beberapa perusahaan dengan kegiatan yang sama. Mesin avdruk yang ada di toko Medan Raya, juga harus mengikuti era baru. Mengikuti perkembangan teknologi. Atau, mengubah teknologi mesin cetaknya. Urusan mencetakpun, sudah bisa dilakukan sendiri dengan perangkat yang juga semakin canggih.

Saya melihat, toko Medan Raya tak lagi usaha foto. Saya berkunjung kemarin, Rabu (9/1), hanya melihat peralatan pancing. Betul juga, banyak warga yang punya hobi memancing.  Baik di sungai atau di laut. Antisipasi perubahan komoditi juga tak salah. Tapi, tokonya masih seperti dahulu. Tak banyak yang berubah. Yang berubah, anak Anggin yang semakin dewasa. Sayapun sadar tentu sudah tak muda lagi.

Saya sering kumpul dengan jurnalis muda dari media cetak maupun online. Nongkrong di warung kopi, lalu mengetik dengan laptop berukuran kecil. Ada juga yang hanya sibuk dengan telepon genggamnya. Fasilitas kemudahan itu yang bisa merangsang jurnalis muda kreatif dan produktif. Di manapun bisa bekerja cepat.

Dulu saya juga masih muda seperti mereka.  Usia produktif-produktifnya. Usia semangat-semangatnya. Sayang, teknologi hebat belum ada pada masa itu. Saya jalani saja situasi yang ada. Saya nikmati mengetik dengan huruf “A” yang terjepit. Saya nikmati berurusan dengan Jannah, untuk menitip foto. Juga saya jalani dengan tulus, meski harus mengejar pesawat ke Bandara Kalimarau. Agar berita bisa terbit keesokan harinya. Saya juga sempat menikmati teknologi itu. Hehe, tapi tak muda lagi. (mps/udi)

 

 

Halaman:

Editor: uki-Berau Post

Tags

Rekomendasi

Terkini

Dishub PPU Desak Pemprov Bangun Terminal Tipe B

Sabtu, 27 April 2024 | 10:30 WIB

DPRD Berau Soroti Ketahanan Pangan

Sabtu, 27 April 2024 | 08:57 WIB

Kampus dan Godaan Rangkap Jabatan

Sabtu, 27 April 2024 | 08:44 WIB

Camat Samboja Barat Tepis Isu Dugaan Pungli PTSL

Kamis, 25 April 2024 | 18:44 WIB

Sembilan Ribu Anak di PPU Diberi Seragam Gratis

Kamis, 25 April 2024 | 18:00 WIB
X