Ilmu Penolak Badai

- Selasa, 29 Januari 2019 | 15:24 WIB

SETIAP berkunjung ke Tanjung Batu, ibu kota Kecamatan Pulau Derawan, pasti teringat dengan peristiwa November tahun 2014. Sebanyak 700 Manusia Perahu yang dikumpulkan jadi satu di lapangan bola, sekitar perkampungan Bulalung. Sontak jadi berita dunia. Penangannyapun ekstra hati-hati, karena ini terkait Hak Asasi Manusia (HAM).

Cerita soal Manusia Perahu, bukanlah hal baru di kawasan laut Derawan dan pesisir pantai. Mereka mencari hidup, dengan menyusuri pantai. Menangkap ikan lalu menjualnya untuk mendapatkan makanan. Di laut Derawan, manusia perahu, sering terlihat di Pulau Panjang dan Pulau Rabu-Rabu. Sedang di pesisir, keberadaannya terlihat di laut Kecamatan Batu Putih.

Bila tak salah, waktu itu Bu Susi Pujiastuti (Menteri Perikanan dan Kelautan), berada di Pulau Derawan. Keliling pulau dan berbincang dengan warga. Ketika bertemu dengan warga itulah, terungkap bahasa warga akan kehadiran manusia perahu. Bu Susi terkejut.  Disitulah awal hingga dilakukan operasi untuk mengumpulkan manusia perahu.

Menggunakan perahu sederhana dalam kelompok kecil. Mereka dalam rumpun keluarga tinggal dan hidup di perahu.  Pada Nopember 2014 itu, seluruh manusia perahu dikumpulkan di Tanjung Batu. Setelah didata, jumlahnya sekitar 700 orang.  Termasuk anak-anak dan bayi yang baru dilahirkan.

Yang membuat repot, bagaimana menyediakan tempat tinggal bagi mereka. Belum lagi, bagaimana menyediakan makanan serta layanan kesehatannya. Merekapun dikumpulkan di lapangan bola, dengan bernaung dibawah tenda milik Dinas Sosial. Setiap hari disiapkan makan sebanyak 3 kali. Mereka tidak akrab dengan nasi. Lebih suka dengan Ubi Kayu. Mereka juga tidak bisa mandi air tawar. Lebih senang bila mandi air laut. Yang dikonsumsi, manusia perahu lebih suka minum air hujan.

Sejak manusia perahu ditempatkan di lapangan bola. Sayapun mendapat tugas, untuk selalu ada di sekitar mereka. Memonitor kebutuhan logistik. Sehari bisa tiga kali bolak-balik Tanjung Redeb-Tanjung Batu. Capek memang. Tapi ini persoalan kemanusiaan. Ini juga sekaligus pengetahuan baru bagi saya, mempelajari banyak hal dengan Manusia Perahu.

Memang repot. Ketika komunikasi dengan kedutaan Filipina maupun kedutaan Malaysia, Manusia Perahu yang mengaku berasal dari Bango-Bango, Samporna, Malaysia juga sebagian dari wilayah Filipina, pihak kedutaan tidak mengakui kewarganegaraaan mereka. Sebab, mereka tidak punya tempat tinggal di daratan. Hidupnya hanya di laut.

Banyak pejabat dari Jakarta datang untuk melihat kondisi mereka. Banyak sumbangan juga terus mengalir, baik dalam bentuk makanan maupun pakaian. Minggu pertama, masih biasa saja. Tapi setelah memasuki bulan pertama, Pemkab juga mulai gelisah. Sebab, mereka harus tetap diberi makan. 700 orang, bukan jumlah sedikit.

Bagaimana memulangkan, itu juga jadi pembahasan panjang. Dipulangkan kemana? Mereka tidak punya tanah. Lautlah, tanah air dan tanah kelahiran mereka. Ratusan perahu, terparkir di dermaga Tanjung Batu. Ada yang posisi setengah tenggelam. Ada juga perahu yang penuh dengan Ikan Pari yang sudah dikeringkan. Jenis ini sangat laris di Malaysia.

Ketika saya harus bermalam di Tanjung Batu. Saya menyempatkan diri untuk berbincang banyak dengan mereka. Bayangkan, dengan perahu yang sangat sederhana, bisa menyeberangi lautan luas. Apa rahasianya? Ternyata, Douglas (50), salah seorang tokoh Manusia Perahu, mengaku punya keahlian menaklukkan badai. Jadi mereka tak pernah takut. Hanya dengan duduk hening di haluan perahu, badai bagaimanapun, bisa dilewati. Hehehe, badai saja bisa ditaklukkan. Apalagi hati wanita.

Ada peristiwa jatuhnya pesawat Air Asia QZ 8501 pada Desember 2014 di sekitar laut Pangkalanbun. Saat itu badai, sehingga proses pencarian sulit dilakukan. Sempat saya menemani tiga Manusia Perahu dalam penerbangan ke Balikpapan. Pertama dalam sejarah hidup menumpang pesawat. Takut dan gemetar. Saya sempat membelikan sandal jepit, sebab dari Berau tak punya alas kaki. Tiga hari berada di Pangkalanbun, didampingi Dandim 0902/TRD saat itu. Saya tidak ikut.

Hari-hari bertugas menangani Manusia Perahu bersama tim, pada satu kesempatan malam hari, saya berbincang dengan Anggun (44), Latif (50) dan Douglas (50). Ketiganya yang sempat ke Pangkalanbun. Saya bertanya terkait dengan kemampuan mereka menaklukkan badai.”Kalau bapak mau, saya berikan ilmunya,”kata Douglas kepada saya. Ini dia yang saya tunggu-tunggu. Syaratnya simpel. Cukup menyiapkan kain putih.

Saya jadi penasaran. Dalam hati, saya bukan hanya meminta ilmu penakluk badai. Tapi juga akan meminta penakluk lainnya. Kata Anggun, setelah mengamati wajah saya.

”Bapak ada keturunan Bajau, jadi bisa mewarisi ilmu kami,” kata Anggun. Semakin bersemangat saya. Ini kesempatan emas. Di kampung ibu saya, Pulau Kodingareng, gugusan Pulau Spermonde, Makassar, saya tak sempat dibekali ilmu apapun oleh kakek saya sebagai bekal merantau.

Pada hari yang dijanjikan, juga bersamaan dengan putusan untuk memulangkan semua Manusia Perahu dengan cara membawa ke laut beberapa puluh mil lalu dilepaskan. Tepat di wilayah perairan Malaysia. Kapal mereka setelah dibekali logistik dan bahan bakar minyak, ditarik oleh kapal milik Angkatan Laut. Mereka juga sudah meneken perjanjian tidak akan kembali ke Berau. Evakuasi pemberangkatan dilakukan jam 5 pagi. Hari itu, Rabu 14 Januari 2015. Hampir 3 bulan bersama mereka.

Halaman:

Editor: uki-Berau Post

Tags

Rekomendasi

Terkini

Camat Samboja Barat Tepis Isu Dugaan Pungli PTSL

Kamis, 25 April 2024 | 18:44 WIB

Sembilan Ribu Anak di PPU Diberi Seragam Gratis

Kamis, 25 April 2024 | 18:00 WIB

Pemkot Balikpapan Didesak Fasilitasi Pom Mini

Kamis, 25 April 2024 | 10:00 WIB

HIMASJA Soroti Dugaan Pungli PTSL di Samboja

Rabu, 24 April 2024 | 09:37 WIB
X