Ada “Freeport” di Long Sului

- Rabu, 30 Januari 2019 | 13:31 WIB

LETAKNYA nun jauh di Hulu sungai Kelay. Tak ada jaringan telepon. Tak ada listrik PLN. Tapi warganya hidup tenang. Warganya hidup rukun. Saya berani menyebut, warganya hidup sejahtera. Alasannya, di Kampung Long Sului hampir seluruh warga adalah pendulang emas. Inilah ‘Freeport”nya Berau.

Ketika akan memulai perjalanan menuju Long Sului, yang terbayang adalah sebuah kesibukan warga yang berada di sepanjang tepi sungai, untuk mendulang emas. Saya tidak membayangkan, untuk menuju kampung ini, memerlukan waktu sekitar 4 jam. Itu bila kondisi air pasang (banjir). Bila sedang surut bahkan kering, bisa bermalam di tengah perjalanan.

Kalau tidak punya pengalaman, jangan coba-coba membawa perahu (Long Boat).  Banyak bebatuan besar yang tidak terlihat wujudnya. Jumlah penumpang juga dibatasi. Perahu yang diperkuat mesin 10 PK. Ada yang bertugas sebagai juru mesin. Ada juga yang bertugas juru batu, yang melihat suasana selama perjalanan. Juru batu ini yang memberi isyarat tangan. Juru mesin wajib mengikuti.

Jumlah penumpang juga dibatasi sebanyak 4 orang saja. Jadi, setiap perahu terisi 4 penumpang dan 2 orang awak perahu. Menarik selama perjalanan. Kadang, hanya memandang pepohonan yang masih rimbun. Sesekali terlihat Bekantan, yang berhamburan di pohon mendengar suara mesin perahu yang memang bising.

Satu jam pertama, mulai gelisah. Kapan sampainya ? Dari jauh, bila terlihat kampung atau berpapasan dengan perahu sejenis, saya berpikir sudah dekat. Ternyata masih jauh lagi. Arus sungai saat banjir, sangat deras. Saat musim kemarau, sudah deras begemuruh lagi. Kemarau, penumpang bisa turun di titik tertentu, dan perahu harus diangkat.

Makin ke hulu sungai, saya melihat semakin pada posisi ketinggian. Sebetulnya tidak terasa, sedang melakukan pendakian di sungai. Perahu lainnya yang ada di belakang, terhalang di tikungan sungai. Kadang pada posisi datar, terlihat berada di bawah. Jadi sebetulnya, perjalanan ini menuju bukit. Karenanya, kondisi perahu dan mesinnya harus benar benar prima. Pengemudi juga harus punya pengalaman hebat.

Saya selalu dihibur sang motoris, setiap saya bertanya berapa lama lagi kita tiba di tujuan. Dengan penuh keyakinan, melihat jam tangan dan berkata pelan “sebentar lagi kita sampai”. Saya lalu ingat kisah lucu teman yang melakukan perjalanan ke bukit di Kampung Merabu. Sang pandu ukurannya tak sempat sebatang rokok habis, sudah sampai di tujuan. Kapan habisnya, kalau rokok hanya diselipkan di telinga. Hahahaha.

Menuju hulu, sungai semakin sempit. Semakin deras. Karena musim banjir, airnya semakin keruh. Kalau kemarau, dasar sungai kelihatan, saking jernihnya. Menuju Long Sului, melewati beberapa kampung yang ada di sisi sungai. Keceriaan warga, meski dari jauh kami saling melambai. Itu cara warga menyambut tamu yang melintasi kampung mereka.

Menjelang senja, tibalah saya di Long Sului. Di tepi sungai, banyak warga yang memancing. Kata mereka, kalau utuk konsumsi di rumah, cukup memancing saja. Saya menghitung, butuh waktu 4 jam lebih. Lumayan mengasyikkan. Saya bermalam di rumah salah seorang warga. Saya tidak sendiri.  Ada rombongan lainnya yang sedang mengunjungi Long Sului. Saya pada posisi turut serta.

Ada sambutan sederhana di pinggir sungai. Saya menangkap, keramahan yang tulus warga Long Sului, menyambut siapa saja yang berkunjung ke kampung paling ujung di sungai Kelay. Iya, saya sedang berada di paling hulu sungai Kelay. Kampung yang tenang. Kampung yang penuh dengan keakraban. Betapa sejuknya kampung Long Sului. Baru lepas senja, dingin sudah terasa.

Saya lupa namanya. Tapi ada seorang pedagang, yang asalnya dari luar Long Sului. Saya berbincang banyak denga beliau. Iapun menjamu saya segelas kopi dan semangkok mi instan. Enak sekali. Selama 4 jam lebih saya tidak menikmati kopi. Pas hausnya dan pas laparnya. Dari beliaulah banyak bercerita kehidupan warga di Long Sului.

Saya terkejut. Ternyata hampir seluruh warga Long Sului, bekerja mencari emas. Hasilnya sangat lumayan.”Tengoklah tempat tinggal mereka,”kata sang pedagang. Benar rumah warga besar dan rapi. Tak ada PLN, tapi hampir setiap rumah punya mesin genset sendiri. Di tengah-tengah, ada lapangan terbuka yang sering digunakan nonton bareng.

Waktu itu, belum ada yang namanya Dana Desa. Kalau ada dana desa yang mengalis, Long Sului dan kampung sekitarnya, pasti akan lebih bercahaya.  Lebih sejahtera dengan segala kesederhanaan warga.

Saat mencari emas. Warga biasanya berangkat hingga sepekan lamanya. Emas yang didapatkan berupa pasir berwarna kuning. Ada juga yang berbutir sebesar biji beras. Ada juga pernah yang menemukan dalam bentuk bongkahan seberat 2 ons. Hasil mendulang, sering dibawah langsung ke Tanjung Redeb untuk dijual.”Ada juga yang lewat saya, sedikit-sedikit,”kata pedagang itu tersenyum. Sebab, sekali ke Tanjung Redeb, butuh biaya tak kurang dari Rp5 juta.

Tidak salah, bila saya menyebut ada “Freeport” (tambang emas yang ada di Papua) di kampung Long Sului. Kampung yang oleh Tuhan diberikan berkah sumber emas yang tersimpan di alam. Pasti ada deposit yang besar. Entah dimana letaknya. Biarlah Long Sului seperti sekarang. Kalaupun ada investor yang mau mengelola, janganlah.(mps/app)

Halaman:

Editor: uki-Berau Post

Tags

Rekomendasi

Terkini

Safari Ramadan Kukar, Serahkan Manfaat JKM

Kamis, 28 Maret 2024 | 11:29 WIB
X