Namanya Prengki

- Senin, 11 Februari 2019 | 12:42 WIB

AKHIR pekan lalu, saya hadir di acara keluarga yang di gelar di GOR Sempaja Samarinda. Jumpa banyak teman lama. Teman kuliah. Teman sekampus. Juga teman main, saat saya tinggal di Teluk Lerong. Asyik. Kenangan masa.

Ada satu tempat yang tak pernah terlewatkan setiap berkunjung ke Samarinda. Warung Kopi Taupik, di Jalan Pangeran Diponegoro. Ada menu yang menggoda, selain Roti Bakar dan Teh Susu. Yakni Nasi Kuning. Sangat spesial. Porsinya tidak Jumbo. Tapi bisa nambah. Ada telur, ada ikan Haruan (Gabus) masak merah. Ada daging yang juga masa merah, ditambah mihun dan kelapa goreng.

Di hari libur Sabtu dan Minggu, Warung Kopi Taupik biasanya jadi titik temu. Ada juga pertemuan yang tak diatur. Saya juga sering jumpa teman-teman di warung ini. Kalau jumpanya pagi, menunya nasi Kuning. Sore, hehe Roti Bakar. Nasi kuning biasanya sebelum jam 12 sudah habis.

Masih sepi, ketika Sabtu (9/2) ke warung ini. Pengunjung masih sedikit. Asyik menikmati nasi kuning, tak lama datang Pak Majid, sekretaris Disbudpar Berau yang ternyata juga pelanggan. Tak sampai 20 menit, nasi kuning sudah tuntas di nikmati. Tapi bisa nambah sejam lagi, khusus buat ngobrol.

Dulu, ketika masih menetap di Samarinda, Warung Kopi Taupik berjualan di kawasan Jalan Panglima Batur. Bila tak salah, lokasi lama sudah berubah menjadi toko penjual emas. Saya masih ingat. Setiap pagi, biasanya Pak Kadri Oening (almarhum) Wali Kota Samarinda sering jalan kaki di sepanjang trotoar dan mampir di Taupik.

Kebetulan, berseberangan dengan Taupik, ada juga warung kopi namanya Toko Maju. Tempat ini terkenal dengan Roti Bakar dan Roti Telur. Ada teman yang diberi ruang untuk jualan Coto Makassar. Saya ikut membantu. Tugasnya, kadang jadi pelayan, tapi lebih banyak sebagai pencuci mangkok.

Saya punya jam bekerja, dua jam sebelum masuk kuliah. Dan, sepulang kuliah, kembali nyambi jadi pelayan coto. Banyak tokoh masyarakat Samarinda, yang pagi sudah ngobrol di Toko Maju. Makanya, dari tempat ini pula, saya juga sekalian kenalan.

Dari ikut berjualan Coto inilah, jadi banyak tahu. Tak perlu menikmati, sudah hapal coto yang enak. Dari aromanya, sudah hapal bumbunya. Juga tahu, bagaimana membersihkan jeroan yang butuh perlakukan khusus. Terutama, membersihkan Babat dan Usus. Selain bumbu, rahasianya juga ada di sambelnya.

Cukup lama ikut berjualan coto.  Tapi, selama ini pemilik toko, tidak tahu nama saya. Akhirnya, sekali waktu, isteri pemilik toko nanya nama saya. Sebetulnya, saya mau saja jujur menyebutnya. Tapi, keduluan teman saya yang menjual coto menyebutkan. Tapi, bukan menyebut nama asli saya.”Namanya Prengki,”kata teman saya. Sejak saat itu, isteri dan pemilik toko memanggil saya dengan nama Prengki. Saya jadi senyum-senyum. Hehe Prengki.

Waktu berjalan, saya (yang  mantan pelayan coto) hijrah ke Berau. Cukup lama. Kadang bila seorang diri, sedang menikmati Coto Fatimah di Jalan AKB Sanipah, atau Coto Makassar di sekitar Pasar Sanggam Adji Dilayas, saya sering bercerita, bahwa dulu saya juga pernah ikut berjualan Coto Makassar di Samarinda.

Ada situasi yang sungguh di luar dugaan. Suatu hari, saya lupa tahunnya, ketika saya asyik duduk di Warung Kopi Hoky, Jalan Niaga, tiba-tiba ada ibu-ibu paroh baya menyeberang jalan dari arah Kantor Bouraq lama. Rumah kenangan Pak Oetomo Lianto dulu. Saya ingat wajah ibu itu. Tapi saya tidak percaya, apa betul ibu ini pemilik Toko Maju, yang dulu saya ikut jualan Coto Makassar.

Begitu berada di muara pintu warung Hoky, si Ibu langsung menegur saya.”Kok Prengki ada di sini,”kata dia dengan suara agak nyaring. Kebetulan, ikut Pak Aliang sapaan akrab Pak Oetomo Lianto. “Siapa yang kau panggil Prengki,”kata Aliang. Si Ibu nunjuk ke arah saya.”Ini namanya Pak Cikra (pak Aliang menyebut saya Pak Cikra, bukan Sikra),”kata Aliang.

Saya baru tahu, ternyata si ibu itu, kakak ipar Pak Aliang yang domisili di Samarinda. Yang punya Toko Maju. Dijelaskanlah sejelas-jelasnya. Bahwa dulu, ketika di Samarinda, Pak Cikra eh pak Sikra ini ikut bekerja di penjual toko, yang ada di Toko Maju. Namanya Prengki.”Jadi, kami di toko manggilnya Prengki,”kata si Ibu yang sejak jualan sampai sekarang tidak tahu juga namanya.

Bila ingat cerita ini, Pak Aliang pasti terpingkal-pingkal. Mirip dengan  anak buahnya yang juga namanya Prengki.”Jauhnya, nama Daeng Cikra dengan Prengki,”kata Aliang tertawa terbahak-bahak.

 Ketika dua hari di Samarinda akhir pekan lalu, tidak sempat mengunjugi Toko Maju. Padahal ada niatan. Yang sempat hanya nasi kuning di Toko Taupik. Kalau ini, tak pernah terlewatkan. Biasanya bungkus, bawa ke pulang untuk Oleh-oleh di rumah.(mps/app)

Halaman:

Editor: uki-Berau Post

Tags

Rekomendasi

Terkini

X