MUI: Tantangan bagi Penceramah

- Minggu, 31 Maret 2019 | 16:22 WIB

KIAN maraknya praktik prostitusi terselubung oleh PSK yang masuk ke Bumi Batiwakkal, menurut Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Berau Syarifuddin Israil, tak lepas dari berbagai permasalahan yang menimpa sang PSK tersebut sehingga terpaksa terjun ke dunia malam.

Dari beberapa informasi yang pernah ia dengar dari pelaku prostitusi, rata-rata permasalahan yang menyeret kaum hawa ke dunia malam itu tak lain karena faktor ekonomi, perceraian hingga adanya perlakuan yang kurang menyenangkan yang dilakukan oleh kaum adam.

Meski dilatarbelakangi berbagai persoalan sosial, Dekan STIEM (Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Muhammadiyah) ini tetap menegaskan bahwa memilih jalan hidup untuk mencari nafkah di dunia prostitusi merupakan tindakan yang tidak dibenarkan dalam agama mana pun. Pelaku, pengguna maupun pihak-pihak yang berkaitan bahkan melegalkan praktik prostitusi sama-sama akan menanggung dosa.

“Kami juga sempat melihat ada beberapa PSK menunaikan Salat 5 waktu. Artinya, sebagian wanita-wanita yang bekerja sebagai PSK itu karena terpaksa,” katanya.

Menurutnya, untuk menyelesaikan persoalan prostitusi ini, bukanlah perkara mudah. Pasalnya, kegiatan prostitusi merupakan sebuah kegiatan yang telah berlangsung sejak ribuan tahun silam dan sampai sekarang masih tetap ada. Kondisi ini pun disebutnya, tak terlepas dari bagian perjalanan hidup manusia yang menjadi tantangan bagi para penceramah agama dan pemerintah untuk membuat para PSK menyadari perbuatannya.

 

“Apabila kita lihat perilaku dan fenomena sosial mereka, kegiatan prostitusi ini terjadi sejak Nabi Luth Alaihissalam. Jadi memang ini sudah ada sejak ribuan tahun silam,” terangnya.

 

Sejauh ini, Syarifuddin juga melihat pihak Pemkab Berau sudah cukup intens meredam keberadaan prostitusi di daerah ini. Misalnya dengan penutupan lokalisasi, mengeluarkan Peraturan Daerah (Perda), hingga memulangkan para PSK ke daerah masing-masing.

“Saya lihat usaha pemerintah sudah luar biasa. Hanya saja muncul masalah baru. Di mana, mereka kembali melakukan secara diam-diam dan sulit terdeteksi,” jelasnya.

Tak jauh berbeda dengan prostitusi, masih adanya perdagangan Miras di daerah ini juga, kata dia, jadi sorotan masyarakat. Ia mengatakan, Miras sebenarnya diperuntukkan bagi masyarakat yang berada di wilayah kutub. “Jadi secara kajian sosialnya minuman seperti anggur atau miras itu untuk memanaskan tubuh masyarakat yang berada di wilayah kutub, daerah yang notabene dingin,” ujarnya.

Namun, dari sisi agama, dirinya kembali menegaskan bahwa meminum minuman keras merupakan tindakan yang diharamkan oleh Agama Islam. Sebab, dalam Alquran disebutkan bahwa Miras atau minuman yang mengandung alkohol itu juga memiliki manfaat, namun lebih banyak mudaratnya bagi manusia.

“Karena itulah minuman keras itu diharamkan, sebab lebih besar mudaratnya dibandingkan manfaatnya,” ucapnya.

Syarifuddin juga menjelaskan bahwa MUI Pusat telah mengeluarkan Fatwa Nomor 11 Tahun 2009 tentang Hukum Alkohol dengan penegasan bahwa meminum minuman beralkohol ketentuannya adalah haram.

Keluarnya fatwa ini, dikatakannya, pada dasarnya sesuai dengan proses-proses yang ada. Diharamkannya meminum Miras karena juga bisa menyebabkan seseorang menjadi mabuk hingga bisa dengan mudah dipengaruhi setan. “Jadi pada prosesnya untuk menyatakan haram itu ada alasannya, tidak serta merta langsung difatwakan haram,” jelas dia. (tim investigasi)

Editor: uki-Berau Post

Tags

Rekomendasi

Terkini

Arus Mudik Laut di Samarinda Belum Meningkat

Jumat, 29 Maret 2024 | 20:00 WIB

Bendungan Marangkayu Sudah Lama Dinanti Warga

Jumat, 29 Maret 2024 | 16:45 WIB
X