Tidur Beratapkan Payung

- Sabtu, 1 Juni 2019 | 11:47 WIB

MAU merekam banyak kehidupan? Datanglah ke pasar. Bukan hanya pasar yang buka siang hari, tapi kunjungilah pasar subuh. Inilah salah satu geliat ekonomi masyarakat. Bagaimana perjuangannya, hingga hasil panen sayur-sayuran tiba di pasar subuh.

Sejak awal Ramadan sebetulnya saya ingin melihat aktivitas di pasar subuh. Dulu sering, bahkan ketika awal dibukanya pasar subuh, saya sudah menyaksikan aktivitas itu. Hari Kamis (30/5) saya datang lagi. Tapi tidak diwaktu subuh. Saya justru datang ketika awal menata barang dagangannya.

Kebetulan istri saya rencana menawarkan asinan buah.  Ada satu bahan yang belum tersedia. Yakni Bengkuang. Saya sangat yakin, tidak terlalu sulit mendapatkan Bengkuang. Bukan hanya di Pasar Sanggam Adji Dilayas. Di pasar senja, Kampung Bebanir Bangun pun banyak ditawarkan oleh para pedagang.

Memasuki kompleks Pasar Sanggam Adji Dilayas, macetnya luar biasa. Maklum, jelang Lebaran, pedagang khususnya yang menampati pasar kering, jualan hingga pukul 23.00 Wita. Sebetulnya ada lahan parkir, tapi dimanfaatkan buat wahana permainan. Karenanya, jalan masuk sisi kiri, dimanfaatkan sebagai tempat parkir. Pantasan lahan parkir terganggu.

Sekitar lokasi pasar subuh lumayan lengang. Banyak tempat untuk parkir kendaraan. Sudah banyak pedagang memulai aktivitasnya. Sayapun bertanya-tanya. Inikan pasar subuh namanya, tapi mengapa baru jam segini mereka sudah mulai menata barang.

Saya lalu bertanya dengan salah seorang penjual yang asyik menelpon denghan telepon seluler yang diselipkan di balik topinya. Saya melihat praktis juga, jadi bisa sambil melayani pembeli. “Koq cepat betul jualannya pak?” kata saya. Ia hanya tersenyum, bahkan penjualnya balik bertanya. “Bapak cari apa?” kata dia.

Saya sebut, bahwa sedang cari Bengkuang. Iapun menunjukkan ke arah bagian belakang.

Saya menyusuri hampir semua lokasi berjualan. Saya yakin sayur mayur yang dijajakan pasti baru dipanen siang atau sore tadi. Buah pare masih segar. Sayuran juga demikian. Saya mendengar dialog dua pedagang menggunakan bahasa Makassar. Kesempatan, bisa lebih lancar yang dicari. “Dimana yang jual Bengkuang,” tanya saya dengan bahasa Makassar pada salah seorang ibu-ibu yang sibuk siaran langsung lewat Instagram. Hebat juga.

Ada pak, kata dia. Tapi orangnya belum datang. Iapun bertanya dengan sesama pedagang, lalu menyebut nama Bambang. Saya yakin, Bambang sang penjual Bengkuang buka asal Sulawesi Selatan. Mungkin warga Berau yang lahir di salah satu kota di Jawa Timur. Saya diminta menunggu sambil mencoba menghubungi Bambang. Juga sambil memesan segelas kopi.  Ternyata ibu-ibu yang siaran langsung lewat Instgram, juga nyambi menjual kopi.

Saya lalu bergeser ke tempat yang lebih gelap.  Beberapa penjual sayur mayur tidak menggunakan payung maupun penerang. Beda yang lainnya, menggunakan lampu tenaga baterai atau aki.

Saya tanya asalnya. Iapun bercerita singkat, bahwa mereka petani asal Kampung Paribau, Kecamatan Gunung Tabur. Sudah lama ia tinggal di kampung yang dikenal sentra sayur mayur itu. “Kami panen siang, lalu hasilnya kami bawa sendiri ke pasar,” kata salah seorang penjual yang mengaku dari Tanah Toraja.

Dari dialah saya banyak tahu suka dukanya. Sayapun membeli dua ikat sawi seharga Rp 5 ribu. Juga dua ikat Kangkung cabut seharga Rp 8 ribu. Rencananya saya tumis untuk menemani santap sahur. Panas-panas kan asyik.

Saya membayangkan ratusan pedagang yang berjualan, pastilah tidak kembali untuk sekadar istirahat. Katanya pembeli kadang datang jam 12 malam. Tidak ada waktu untuk pulang. Apalagi rumah mereka jauh. Terus bagaimana tidurnya. Iapun menunjukkan ruang yang sedikit untuk sekadar bisa berbaring. “Kami tidur seadanya,” kata mereka.

Ada juga yang sempat saya cermati, seorang ibu tua berusia di atas 60 tahun, duduk sambil tidur. Ia menyandarkan dagunya pada lutut yang posisi tidak terlipat. Tidur tanpa atap. Hanya bersandar pada pipa Hydrant. Seluruh badan kecuali wajahnya ditutup dengan sarung. Luar biasa perjuangan hidup mereka.

Di tempat lainnya, juga bercerita tak jauh beda.  Setelah menata barang dagangannya, mereka lalu berbaring di antara sayur mayur dan buah. “Kami hanya tidur beralaskan tikar dan atap payung,” kata mereka. Ada juga menggunakan atap atau lebih tepat tenda yang lebih besar.

Halaman:

Editor: uki-Berau Post

Tags

Rekomendasi

Terkini

HIMASJA Soroti Dugaan Pungli PTSL di Samboja

Rabu, 24 April 2024 | 09:37 WIB

Stadion Batakan Segera Dilengkapi Lapangan Latihan

Selasa, 23 April 2024 | 13:22 WIB

BPKAD Proses Hibah Lahan Perum Bumi Sempaja

Selasa, 23 April 2024 | 10:00 WIB

SIC Bersedia Biayai Waterfront City

Selasa, 23 April 2024 | 08:30 WIB

Lima SPBU di Kutai Barat Wajibkan QR Barcode

Senin, 22 April 2024 | 20:00 WIB
X