Salah Masuk Antrean

- Minggu, 16 Juni 2019 | 00:47 WIB

MASING-MASING daerah tentu ada satu tempat yang menjadi favorit warganya. Bukan hanya tempat rekreasi, tetapi juga rumah makan. Warga rela berlama-lama menunggu asal mendapatkan yang diinginkan.

Antrean pembeli sering terlihat di mal, terutama pada tempat menjual makanan. Di luar negeri, antreannya bisa panjang sekali. Tapi semua bisa dengan sabar menunggu giliran. Sebetulnya ada favorit saya untuk minum kopi sekalian menikmati sarapan nasi kuning. Agaknya kebiasaan nongkrong di warung kopi sulit sekali dihilangkan. Begitu pun saat liburan di Makassar.

Sejak tiba, saya sudah berpikir kapan ada waktu lowong untuk mengunjungi warung kopi yang lokasinya tak jauh dari Pantai Losari. Dulu, warung kopi ini terkenal. Seiring dengan banyaknya bermunculan kedai kopi, tapi popularitas tempat ini pun tidak menurun.

Peminatnya tetap banyak. Yang datang muda usia sering berkumpul di kios kopi Eva Ria. Dan mereka itu juga yang setia tak pernah ke tempat lain. Tentu usianya tak muda lagi. Seperti saya.

Beberapa hari usai lebaran, saya mengunjungi tempat ini. Selain minum kopi, saya juga mencari nasi kuning dan Songkolo (ketan). Sayang, penjual nasi kuningnya belum juga berjualan. Songkolonya enak. Selain ada abon dan paru goreng, juga ada ikan asin kerapu dimasak asam. Nikmatnya luar biasa. Tapi tenang, saya masih ada cadangan penjual nasi kuning yang sama populernya.

Lokasinya di Jalan Riburane, depan Studio Radio Republik Indonesia (RRI). Bangunan tua peninggalan Belanda itu tepatnya di ujung Jalan P.Sulawesi. “Waduh bisa tidak kebagian,” kata saya ketika berada di depan warung. Ada puluhan pembeli yang menggunakan baju seragam. 

Bila menghitung, butuh waktu hampir satu jam. Saya pun berdiri paling belakang. Ikut antre. Rupanya pengantre berbaju seragam itu adalah pelayan jasa antar makanan. Menerima pesanan online lalu mengantar ke pemesannya.

“Bungkuski juga pak?” kata salah seorang pelanggan yang antre, tapi tidak berbaju seragam. “Tidak, saya mau makan di tempat,” kata saya. 

Rupanya sejak saya berdiri selama hampir 30 menit itu diperhatikan oleh bapak tadi. Saya juga heran, banyak saja pelanggan yang datang, tapi tidak ikut antre.

“Lho kok mereka tidak ikut antre,” kata saya. Ternyata sejak maraknya penggunaan media sosial, penjual nasi kuning membuat aturan. Khusus pemesan jasa antar diwajibkan antre.  Sementara yang makan di lokasi langsung dilayani.

Rupanya saya salah info. Saat tiba, tidak langsung ke dalam, melainkan ikut antrean. Saya pun keluar dari antrean, masuk dan mencari tempat duduk. Tak lama pelayan pun datang menanyakan minuman. Juga menanyakan nasi kuningnya. “Besar atau kecil,” kata pelayan. Saya jawab besar.

Besar dan kecil itu ternyata porsi nasi kuningnya. Ternyata benar, karena pesan porsi besar, yang datang pun nasi kuning porsi besar. Pasti tidak sanggup saya habiskan. Ada daging, ada paru goreng juga telur dan sayur.

Saya lalu ingat warung Hoky di Berau.  Pesan segelas teh susu, lalu duduk berjam-jam. Di warung nasi kuning ini tidak bisa berlama-lama. Apalagi membicarakan soal politik. Setelah semua selesai, saya bergegas meninggalkan warung. Saya khawatir jangan sampai bukan hanya yang pesan bungkus yang antre. Tapi yang makan di tempat juga demikian.

Ada hal menarik ketika saya harus mengabadikan momen antre tersebut. Salah seorang di antara mereka ngomong begini. “Pak, yang serius pak kalau difotoki,” kata salah seorang yang lagi antre berjaket warna hijau. Usai foto, ia pun berbisik dengan saya “Pak, mau majuki pak?,” kata dia. Saya pun bingung mau maju ke mana? Makassar memang lagi ramai persiapan pemilihan Walikota tahun depan. Hehe, di Berau juga. Mungkin itu maksudnya.

Begitulah nasib bila merantau di kampung sendiri, banyak hal yang harus diketahui terlebih dahulu. Bila tidak, bisa-bisa semua yang dikunjungi dan harus antre, bisa salah masuk antrean, hehe.(*/asa)

Editor: uki-Berau Post

Tags

Rekomendasi

Terkini

Safari Ramadan Kukar, Serahkan Manfaat JKM

Kamis, 28 Maret 2024 | 11:29 WIB
X