Gado-Gado Udang Galah

- Kamis, 11 Juli 2019 | 14:36 WIB

KALAU gado-gado dengan tambahan toppingnya tahu, tempe dan telur, agaknya sudah biasa. Yang beda bila ditambah dengan udang galah goreng yang hampir menutupi sebagian permukaan piring. Jenis kuliner ini sangat dikenal, khususnya warga Teluk Bayur.

Di Tanjung Redeb, sejak lama warga mengenal penjual gado-gado yang ada di Jalan Niaga. Saya juga sering menikmati ketika tinggal di kawasan jalan tersebut.  Rasanya enak. Karena rasa inipun, wakil Bupati Pak Agus Tantomo, juga tercatat sebagai salah seorang pelanggannya.

Hari Selasa (9/7), sebetulnya sudah menjadwalkan untuk menghadiri undangan teman-teman yang pernah bertugas di kantor Dinas Pertambangan. Ada undangan yang hanya direncanakan sehari sebelumnya. Kata Pak Mansyur, saya harus datang.  Bila tidak bisa dapat kartu kuning. Bahaya, Pak Mansyur bila mengeluarkan kartu kuning, bisa duduk di bangku cadangan.

Acaranya di rumah Bu Mega. Saya wajib datang, apalagi Pak Mansyur sudah memberikan peringatan. Tapi saya sudah ada jadwal untuk ke Teluk Bayur. Saya mau menulis soal gado-gado yang unik itu. Menikmati gado-gado di atas pukul 13.00 Wita, rasanya tidak umum. Sebab, gado-gado ini bagi saya, makanan antarwaktu. Haha.

Saya putuskan meluncur ke Teluk Bayur. Dalam pikiran saya, jangan-jangan sudah kehabisan. Bukan kehabisan bumbu dan tempe, tapi kehabisan udang galahnya. Lumayan, perjalanan dari Tanjung Redeb ke Teluk Bayur yang jaraknya sekitar 8 kilometer itu. Pak Isrin yang mengemudi kendaraan juga harus hati-hati. Antrean di tiga SPBU masih nampak mengular. “Katanya (pengetap) mau ditertibkan,” kata Isrin. “Kita ini mau nyari gado-gado, bukan bahas BBM,” kata saya.

Biasanya dari arah lapangan bola, bisa lengsung berbelok ke kiri. Tapi jalan ditutup. Ada kegiatan besar. Di lapangan juga ada panggung. Di sisi kiri lapangan  sedang dipagari seng. Pemagaran ini berkaitan dengan rencana tampilnya Nisa Gambus, atau karena memang lapangan bola akan dibuat semacam alun-alun.

Kami harus parkir kendaraan sedikit jauh dari rumah Bu Suparmi yang menjual gado-gado. Jalannya sedikit sempit. Tak ada pelanggan yang makan di warung itu.  Biasanya di bawah pukul 10.00 Wita. Tak apa, Bu Suparmi duduk bersama anggota keluarganya ketika kami datang. Kami pesan tiga porsi. Saya pesan tanpa udang. Dua teman saya pesan dengan udang galah ukuran besar. Udang galah yang badanya besar, tapi kepala lebih besar.

Sambil mempersiapkan bumbu kacang, saya berbincang dengan Bu Suparmi yang tahun ini genap berusia 73 tahun. Dia pun bercerita bahwa mulai berjualan gado-gado sejak 1977. Lama juga. Bukan di rumah yang dia tempati sekarang, melainkan di rumah yang jaraknya beberapa puluh meter dari tempatnya sekarang.

Rumah yang ditempati sekarang, menurut Bu Suparmi, punya cerita tersendiri. Bahwa warga Tionghoa yang masih berstatus Warga Negara Asing (WNA), tidak bisa menetap di kecamatan. Saya ingat cerita Pak Aliang, di mana rumah milik warga Tionghoa dijual murah.  Bahkan ada yang hanya diganti dengan sebuah mesin jahit.

Rumah yang ditempati Bu Suparmi, juga salah satu rumah yang dijual murah. “Saya tahu ceritanya dulu, rumah yang saya tempati ini hanya ditukar dengan sebuah sepeda,” kata Suparmi. Dia sudah lupa siapa nama pemilik pertama rumah yang dijadikan tempat berjualan gado-gado ini.

Soal laris tidaknya, Bu Suparmi mengakui banyak perubahan. Tidak selaris dulu lagi. “Kalau sekarang bisa laku, 2 kilogram udang lumayan,” kata dia. Tapi, belakang untuk menghabiskan 1 kilogram udang saja sangat sulit. Maklum, dulu di Teluk Bayur hanya dia satu-satunya. Sekarang sudah ada enam penjual gado-gado di Teluk Bayur.

Nikmat betul teman saya menyantap udang galah goreng berukuran besar itu. Malahan, lebih dulu habis udangnya, ketimbang gado-gadonya dengan lontong yang sedikit. Daging udangnya terasa kenyal, hasil tangkapan yang ramah lingkungan. Saya juga menikmati, tapi sambil mengingat ancaman kartu kuning Pak Mansur bila tak muncul di rumah Bu Mega.

Usai menikmati gado-gado udang galah yang enak itu, saya buru-buru ke rumah Bu Mega. Saya yakin, menunya juga pasti enak. Ada ayam, ada sayur asam dan ada ikan asin tumis asam. Ini kesukaan saya, ikan asin tumis asam. Saya sudah dua kali makan, saya harus menyiapkan sedikit ruang untuk makan siang di rumah. Saya ingat, ada bandeng tanpa tulang yang diberikan Pak Radian, karyawan Humas Pemkab Berau. Bandeng kesukaan saya. (*/udi)

Editor: uki-Berau Post

Tags

Rekomendasi

Terkini

Penerimaan Polri Ada Jalur Kompetensi

Jumat, 19 April 2024 | 14:00 WIB

Warga Balikpapan Diimbau Waspada DBD

Jumat, 19 April 2024 | 13:30 WIB

Kubar Mulai Terapkan QR Code pada Pembelian BBM

Jumat, 19 April 2024 | 13:00 WIB

Jatah Perbaikan Jalan Belum Jelas

Jumat, 19 April 2024 | 12:30 WIB

Manajemen Mal Dianggap Abaikan Keselamatan

Jumat, 19 April 2024 | 08:25 WIB

Korban Diseruduk Mobil Meninggal Dunia

Jumat, 19 April 2024 | 08:24 WIB

Mulai Sesak..!! 60 Ribu Pendatang Serbu Balikpapan

Jumat, 19 April 2024 | 08:19 WIB
X