Kopi dan Tenaga Kerja

- Kamis, 8 Agustus 2019 | 14:32 WIB

MEMANG tidak ada hubungannya. Antara kopi dan tenaga kerja. Tapi, ketika kopi sudah tertuang dalam cangkir, maka berbincang soal lika-liku kehidupan tenaga kerja menjadi lancar. Dan ini bisa berlangsung di mana saja.

Tak ada janji. Semua serba kebetulan. Pagi kemarin (7/8), niatan untuk menikmati bubur ayam di warung Bu Basri. Saya lebih suka menyebut warung Bu Basri ketimbang namanya Warung Samarinda. Suasananya nyaman. Apalagi jumpa dengan karyawan yang belum sempat sarapan pagi di rumahnya. Karyawati yang cantik-cantik berbaju putih di hari Rabu.

Saya datang seorang diri. Harapannya, bila jumpa dengan karyawan yang saya kenal, bisa ngobrol. Warung masih sepi. Yang ada hanya dua orang yang berseragam sebuah organisasi berdiri di halaman warung. Kami berbincang, mereka rencananya mau bertemu dengan pejabat di kantor Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans), yang kebetulan berseberangan jalan dengan warung Bu Basri.

Ya sudah, sekalian saja saya ajak untuk minum kopi bersama. Saya pikir silaturahmi saya pagi kemarin punya warna baru. Berbincang dengan parta tenaga kerja yang ada di sektor pertambangan dan perkebunan kelapa sawit. Dua persoalan ini belum banyak saya pahami.

Saya pesan teh, sementara Pak Ari Iswandi dan Pak Syamsul Bahri memesan kopi hitam tanpa saring. Mungkin mereka sudah sarapan pagi, saya pun memesan Bubur Ayam kesukaan saya. Tak lama berselang, datang lagi Pak Ardi dan Rahmat Abdi. Mereka ternyata bergabung dengan organisasi Federasi Konstruksi Umum dan Informal (FKUI).

Saya ingat warna bajunya. Di halaman utama Harian Pagi Berau Post edisi Rabu (7/8) kemarin, mereka turun ke jalan berorasi dan menyampaikan aspirasi. Selain FKUI juga bersama-sama dengan Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (SBSI). Yang disuarakan terkait dengan penetapan jam lembur yang menurut mereka tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan diberlakukan perusahaan.

Mungkin pertemuan dengan Pak Bupati Berau belum menjawab tuntas harapan pekerja, sehingga pagi kemarin, dilanjutkan lagi dengan diskusi bersama pejabat yang ada di kantor Disnakertrans di Jalan dr Murjani II. Gedung baru berlantai tiga.

Sambil minum kopi, kami tidak membahas secara detail apa yang diorasikan saat melakukan unjuk rasa. Inginnya mereka, bagaimana manajemen di tempat mereka bekerja dan di mana organisasi buruh bernaung, bisa lebih transparan. “Kami semua ini punya keluarga yang harus dihidupi,” kata Ari yang jabatannya sebagai ketua FKUI.

Andai saja, kata mereka, perusahaan punya tim komunikasi yang bagus. Maka semua produk aturan yang dibuat bisa diterjemahkan bersama antara karyawan dan organisasi selaku perwakilan mereka. Kalau terpaksa turun ke jalan, itu akibat adanya kebuntuan informasi. Belum maksimalnya, komunikasi antara mereka dengan manajemen perusahaan. “Kalau kami turun ke jalan, itu bagian dari luapan ketidakpuasan saja,” tambahnya.

Berbincang dengan pekerja pertambangan batu bara dan perkebunan kelapa sawit, mengasyikkan. Saya membayangkan, karyawan yang terlibat dalam dua sektor itu saja mungkin jumlahnya lebih dari 10 ribu jiwa. Kalau mereka punya istri dan satu orang anak, kontribusi jumlah penduduk di Berau tidak sedikit. “Bisa beberapa kursi di DPRD,” kata Pak Ardi.

Sayangnya saya tidak punya wewenang untuk mengajak teman-teman di kantor Disnakertrans, duduk sama-sama sambil menikmati kopi panas buatan Bu Basri. Membahas apa yang jadi persoalan mereka. Mungkin persoalan yang menjadi penyumbat bisa terpecahkan. Apalagi bila sambil minum kopi, juga menghadirkan manajemen perusahaan yang punya otoritas.

Kami saja, ketika minum kopi, teman-teman organisasi pekerja itu membahas persoalan sambil tertawa. Semua rileks. Padahal, saya juga sempat melihat rekaman video saat orasi, Pak Ari ini suaranya lantang menggema ke mana-mana.

Saya harus akui, para pekerja ini memang cerdas. Semua aturan yang terkait ketenagakerjaan, hafal di luar kepala. Makanya, saat yang menjadi haknya ‘terusik’, mereka pasti bereaksi. Saya harus belajar banyak dengan mereka. Menjalankan kewajibannya, di sisi lain juga menuntut haknya.

Lain kali, harusnya saya janjian saja dengan para pekerja. Janjian jumpa di warung kopi. Ada teman saya yang menerjemahkan ‘KOPI’ dalam makna yang lain. ‘Ketika Otak Perlu Inspirasi’ (KOPI). Hebat juga teman saya itu. Karena itulah, jumpa kami yang tidak lebih dari 35 menit, banyak inspirasi yang lahir. Soal Kopi dan soal tenaga kerja. (*/udi)

Editor: uki-Berau Post

Tags

Rekomendasi

Terkini

Camat Samboja Barat Tepis Isu Dugaan Pungli PTSL

Kamis, 25 April 2024 | 18:44 WIB

Sembilan Ribu Anak di PPU Diberi Seragam Gratis

Kamis, 25 April 2024 | 18:00 WIB

Pemkot Balikpapan Didesak Fasilitasi Pom Mini

Kamis, 25 April 2024 | 10:00 WIB

HIMASJA Soroti Dugaan Pungli PTSL di Samboja

Rabu, 24 April 2024 | 09:37 WIB
X