Darah dan Darah

- Kamis, 15 Agustus 2019 | 15:28 WIB

HARIAN pagi Berau Post edisi Rabu (14/8) kemarin, pastilah laris manis. Berita utama sungguh menarik perhatian. Banyak teman saya, (mungkin tidak berlangganan koran) bertanya soal pemberitaan yang jadi perbincangan itu. Saya akan kewalahan bila membacakannya. Saya fotokan saja dan mengirimnya lewat WA. Selebihnya analisa sendiri.

Lebih menarik perhatian saya, sekitar aktifitas teman-teman saya di Palang Merah Indonesia (PMI). Sangat sering saya membaca bagaimana seorang warga yang dalam kepanikan, karena salah seorang anggota keluarga mereka butuh bantuan darah. Bahkan, mertua Pak Agus Tantomo, Wabup Berau sendiri yang sedang sakit, juga butuh waktu agar bisa mendapatkan darah.

Saya membayangkan, bagaimana gaduhnya teman-teman di PMI bila seseorang datang untuk mendapatkan darah, yang kebetulan posisi stok tidak cukup. Bila itu yang terjadi, keluarga pasien harus berusaha mencari keluarga atau kerabatnya. Petugas PMI juga melakukan hal yang sama.

Harus saya konfirmasi terlebih dulu keberadaan Pak Etha, Ketua Markas Palang Merah Indonesia (PMI), sebelum saya ke kantornya. Pak Etha ini paling rajin. Kata teman-temannya, waktunya lebih banyak diluangkan untuk tetap berada di kantor. Dibanding waktu berada di rumahnya.

Berbaju putih dengan simbol palang merah di atas dasar putih. Baju kebesaran Pak Etha yang badannya memang sudah besar. Ia berdiri di halaman, sambil pandangannya diarahkan ke depan. Ke arah rumah sakit Abdul Rivai. Di mana posisi Kantor PMI tak boleh jauh-jauh dari rumah sakit.

Di ruang utama, nampak sepi. Hanya  ada anggota PMI yang juga badannya besar, asyik bermain medos. “Petugas lainnya ada di ruangan mereka,” kata Etha. Nampak depan, kantor PMI terlihat megah. Setelah saya cermati, konstruksi bagian dalam bangunan tak banyak perubahan. Interiornya masih yang dulu juga.

Ada ruangan, yang menurut saya tidak terlalu dingin. Mungkin dekorasi gypsum yang terlepas, sehingga udara dingin tidak maksimal. Ada lemari (bank darah) yang terisi darah dari beberapa golongan. Ada juga yang masih tersimpan darah, yang sudah dinyatakan kedaluwarsa. “Anggota lainnya ada yang sedang melakukan layanan donor di Labanan, karyawan perusahaan tambang batu bara,” kata Etha.

Ia mengaku, masih memerlukan fasilitas lemari penyimpan darah. “Kita perlu yang kapasitas 300 kantong,” kata dia. Termasuk pembenahan ruang yang butuh lebih baik lagi. Sebagai lembaga yang diperlukan banyak orang, suatu saat akan ada uluran tangan perusahaan yang bisa melengkapi semua kebutuhan. Saya berujar, mungkin di luar dugaan, akan datang perusahaan yang siap menyediakan fasilitas dan bangunan yang standar.

Hampir sejam saya di kantor PMI, ada keluarga pasien yang datang dengan membawa formulir. Saya bisa pastikan, mereka datang untuk keluarganya yang sakit dan butuh darah. Wajahnya kuyuh, menyerahkan formulir pada petugas. Prosesnya tidak lama, memang ini yang menjadi standar layanan PMI.

Kendaraan minibus yang biasa digunakan keperluan lapangan, kondisinya tidak bisa bergerak. Salah satu alat penting di mobil itu, dalam keadaan rusak. “Masih menunggu perbaikan,” kata Etha.  Peralatan mobilitas di PMI tidak bisa ada yang dalam kondisi tidak berfungsi. Semua harus bekerja maksimal. Termasuk bus, yang penting untuk layanan di luar kantor. Bisa jadi, karyawan perusahaan PT Berau Coal akan mendonor di lokasi tambang, mobil itu yang bisa digunakan. “Kita akan segera perbaiki,” kata Etha sambil tersenyum.

Memang sering juga muncul anggapan miring, mengapa dipungut bayaran. Ya memang aturannya seperti itu. Yang gratis itu, isi kantong darah. Nah harus berbayar, kantong itu sendiri yang hanya sekali pakai, peralatan pemeriksaan penyakit, teknisi penyimpanan distribusi. Ini mungkin yang perlu dipahami oleh warga.

“Setiap bulan kami salurkan antara 200 hingga 300 kantong darah,” kata Etha. Tingginya permintaan tersebut, diimbangi dengan ajakan kepada warga untuk menjadikan pendonor darah sebagai satu gaya hidup. Kapan saja, sepanjang memenuhi syarat sebagai pendonor, baik perorangan maupun kelompok, PMI siap melayani. “PMI juga siap jemput bola, mengunjungi di mana pendonor berada,” kata Etha.

Jumlah perusahaan yang cukup banyak, dan mempekerjakan ribuan karyawan, saya yakin kebutuhan akan darah bisa terpenuhi. Sehingga, tak ada lagi keluhan terlambatnya mendapatkan darah untuk membantu pasien di rumah sakit. Bisa saja, justru yang membutuhkan bantuan adalah kebetulan karyawan perusahaan.

Saya membayangkan, betapa mulianya teman-teman saya yang aktif di PMI. Setiap hari, selalu dalam situasi penuh kesiapsiagaan. Di tangan merekalah, ikut menentukan bagaimana nasib seorang pasien yang tengah berjuang menghadapi sakitnya. Dan di tangan pendonor darah, juga menentukan kehidupan seseorang.

Di tempat mana saja silakan gaduh. Tapi di PMI, kegaduhannya hanyalah darah dan darah. Bagaimana ia memberikan pelayanan yang baik kepada masyarakat, hanya itu yang bisa membuat hati mereka bahagia.

Halaman:

Editor: uki-Berau Post

Tags

Rekomendasi

Terkini

DPRD Berau Soroti Ketahanan Pangan

Sabtu, 27 April 2024 | 08:57 WIB

Kampus dan Godaan Rangkap Jabatan

Sabtu, 27 April 2024 | 08:44 WIB

Camat Samboja Barat Tepis Isu Dugaan Pungli PTSL

Kamis, 25 April 2024 | 18:44 WIB

Sembilan Ribu Anak di PPU Diberi Seragam Gratis

Kamis, 25 April 2024 | 18:00 WIB
X