Oknum ASN Dituntut 1 Tahun Penjara

- Kamis, 15 Agustus 2019 | 15:33 WIB

TANJUNG REDEB - Terdakwa perkara dugaan penganiayaan anak di bawah umur Wiwik Dwi Karyanto (46), dituntut satu tahun penjara oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU). Pembacaan tuntutan terhadap oknum aparatur sipil negara (ASN) tersebut, berlangsung pada persidangan di Pengadilan Negeri (PN) Tanjung Redeb, Selasa (13/8) lalu.

Saat dikonfirmasi kemarin (14/8), Kasi Pidana Umum (Pidum) Kejaksaan Negeri (Kejari) Berau Andie Wicaksono mengatakan, dasar pertimbangan menuntut terdakwa satu tahun pidana penjara, karena ada hal yang meringankan terdakwa. Yakni terdakwa belum pernah dihukum dan telah menyesali perbuatannya. Namun hal yang memberatkan, perlakuan terdakwa telah membuat korban trauma.

“Tapi terdakwa belum ada menyatakan mengakui kesalahan telah melakukan pemukulan terhadap korban, seperti yang disampaikan korban di persidangan. Karena pada persidangan dengan agenda pemeriksaan terdakwa, yang bersangkutan hanya menyatakan menyesali perbuatannya,” kata Andie.

Menanggapi tuntutan satu tahun penjara, Penasihat Hukum terdakwa Natalis Wada, mengapresiasi tuntutan yang diberikan penuntut umum kepada kliennya. Karena dalam proses persidangan, bisa ditarik kesimpulan bahwa pokok masalahnya sebenarnya tidak perlu sampai diproses ke persidangan. “Karena kesalahpahaman saja dari para pihak terkait,” katanya.

Kemudian, saksi-saksi yang dihadirkan penuntut umum, tidak ada yang secara langsung melihat kejadian tersebut. “Prinsipnya, para saksi itu tidak ada di tempat kejadian,” katanya.

Natalis  menjelaskan, dalam dakwaan disebutkan alternatif pertama masalah penganiayaan, dan kedua pasal tentang perlindungan anak, yang bicara tindak kekerasan. Setelah dipelajari, penuntut umum dinilai lebih fokus kepada pasal 80 ayat 1 Undang-Undang 35/2014 tentang perlindungan anak. “Yakni dakwaan alternatifnya,” ujarnya.

“Namun hal ini juga kami cek. Bagaimana kekerasan itu terjadi berdasarkan fakta persidangan. Nanti kami coba menekankan pada hal tersebut. Karena secara objektif, diketahui ketika terjadi tabrakan Pak Wiwik ini marah. Nah persoalannya kemudian adalah, bagaimana dia marah itu. Karena tidak ada saksi yang melihat secara langsung. Jadi ukurnya dari keterangan Pak Wiwik, bahwa dia menyandarkan, tetapi menurut si anak (korban) bahwa telah dibenturkan,” lanjutnya.

Namun tetap menjadi kewenangan hakim untuk memutuskan. Pihaknya menunggu keyakinan hakim saja, karena jaksa dalam kepentingannya tetap punya subjektivitas tertentu. Yang pasti, tuntutan jaksa, menurut Natalis, dalam konteks cukup ragu untuk mengatakan kliennya ini bersalah atau tidak. Karena keterangan yang digunakan adalah keterangan tidak langsung. Jadi tidak bisa memastikan.

“Dalam hukum sendiri, jika kita ragu maka sebaik-baiknya kita mengambil keputusan yang lebih menguntungkan atau meringankan terdakwa. Kami menyerahkan kepada hakim agar bijak memutuskan perkara ini nantinya,” tuturnya.

Pada pembelaan nanti, pihaknya cuma menyampaikan perbedaan analisa saja, bukan dalam pengertian ngotot kliennya harus benar. “Harapan kita sebisa mungkin putusan yang diberikan itu bisa meringankan klien kami. Saya menilai tuntutan jaksa itu sudah cukup objektif,” katanya lagi.

 

“Dalam hal ini pihak terdakwa diberi hak untuk membela diri melalui pledoi yang akan diajukan pada sidang berikutnya, yakni pekan depan,” sambungnya. (mar/udi)

Editor: uki-Berau Post

Tags

Rekomendasi

Terkini

Bendungan Marangkayu Sudah Lama Dinanti Warga

Jumat, 29 Maret 2024 | 16:45 WIB
X