Berkibarlah Benderaku

- Sabtu, 17 Agustus 2019 | 13:33 WIB

GENAP 74 tahun Indonesia Merdeka. Upacara memperingati detik-detik Proklamasi digelar bersamaan di seluruh penjuru negeri. Umbul-umbul warna-warni menghiasi semua sudut kota hingga ke pelosok desa. Rasa debar tak terhingga ada di hati petugas pengibar bendera. Puncak dari latihan selama berbulan-bulan.

Hati saya masih tak nyaman rasanya. Di awal rencana, sayalah paling bersemangat. Juga ketika rapat pemantapan, saya juga hadir. Sayangnya, ketika hari H saya putuskan untuk tidak ikut bergabung. Tidak berada dalam rombongan yang akan memperingati detik-detik Proklamasi di Kampung Long Suluy, Kecamatan Kelay, yang dikoordinir langsung Wakil Bupati Berau Agus Tantomo. Sebab istri saya sedang sakit.

Tahun lalu, detik-detik Proklamasi berlangsung di Pulau Maratua. Saya juga hadir. Acaranya meriah. Dilaksanakan di alun-alun Kampung Payung-Payung. Pesertanya seluruh pelajar di Kecamatan Pulau Maratua, serta warga dan aparat keamanan. Hadir pula sejumlah wisatawan yang kebetulan berlibur di Maratua. Usai upacara pengibaran bendera, dilanjutkan dengan pengibaran bendera Merah Putih di bawah laut.

Tahun ini, keputusan agar upacara peringatan detik-detik Proklamasi kemerdekaan memilih di Kampung Long Suluy punya alasan yang kuat. Bahwa selama ini belum pernah ada kegiatan serupa yang dilaksanakan di kampung pedalaman. Putusan itu bukan mudah.  Sebab, semua harus disiapkan dari luar kampung. Camat dan unsur muspika lainnya ikut terlibat mempersiapkan akomodasi dan transportasi.

Long Suluy merupakan kampung terjauh sepanjang aliran Sungai Kelay. Tak ada alternatif angkutan kecuali jalur sungai. Di saat air meluap, perjalanan relatif mudah, walau sedikit melawan arus.  Ketika air surut, seperti sekarang, di sinilah letak indahnya sebuah perjalanan.

Saya ingat, pernah menemani Pak Makmur ketika masih menjabat Bupati Berau. Saya ikut perahu ketinting yang ditumpangi Pak Makmur bersama istri. Alasannya sederhana. Lebih mudah mendapatkan foto dokumentasi. Juga lebih mudah lagi mendapatkan konsumsi.

Berangkat lewat darat sebelum sampai ke Kampung Long Boy, dari kampung ini, kemudian melanjutkan perjalanan menuju Long Suluy. Pak Talakai, tokoh adat Long Suluy merangkap jadi juru mudi. Ia hafal lekak-lekuk sungai. Ia tahu di mana posisi batu dan harus menghindar. Ia tahu, kapan mesin 8 PK harus tancap gas, dan kapan harus slow. Itu pun tiba setelah perjalanan selama 4 jam.

Melelahkan, 4 jam posisi badan bengkok. Perahu ketinting memang dibatasi penumpangnya. Sungai yang kami lewati bila melihat posisinya adalah mendaki. Perahu ketinting lainnya yang ada di belakang kami berada di bawah. Jadi sebetulnya, perjalanan menuju Long Suluy itu sama dengan mendaki sungai.

Terisolir sih tidak. Sebab, masih bisa ditempuh. Tapi, bila disebut terpencil saya sepakat. Lokasinya di hulu sungai. Tak ada layanan listrik. Tak ada sinyal telepon. Tak ada fasilitas air bersih. Jadi, bila ke Long Suluy, siap-siap terisolasi dari dunia luar. Rumah penduduk juga teratur rapi. Rumah panggung yang besar dan sehat dikelilingi hutan perawan. 

Sungai yang arusnya deras, juga menyenangkan bagi penghobi memancing. Bila malam hari, hampir semua rumah bersamaan menghidupkan mesin genset. Saya tanya pak Talakai, apa pekerjaan utama warganya. Suaranya pelan, “Kebanyakan pencari emas,” kata tokoh adat Suluy itu. Pantas rumah mereka hebat-hebat.

Warga yang jumlahnya tidak terlalu banyak itu, pastilah sudah masuk kategori sejahtera. Ditambah lagi adanya suntikan alokasi dana kampung. Lengkaplah kebahagiaan warga kampung itu. Malam hari, di lapangan yang tidak terlalu luas, warga banyak berkumpul. Ada layar lebar untuk bisa sama-sama menikmati tontonan televisi. Setiap malam ada acara nonton bareng.

Saya membayangkan, seperti jadwal yang sudah ada, pak Agus Tantomo setibanya di Long Suluy bertemu warga sambil berjalan mengelilingi kampung. Bukan hanya warga Long Suluy, warga dari kampung sepanjang Sungai Kelay kumpul bersama-sama. Makan malam bersama yang disiapkan pihak kecamatan. Dan nyanyi serta joget bersama.

Sebelum perayaan detik-detik Proklamasi, sesuai jadwal yang ada, juga akan melihat bagaimana warga mencari emas. Bagaimana mendapatkan biji halus emas dari hasil mendulang. Sebuah kegiatan drama yang selama ini tidak pernah ditonton dan dipertontonkan. Termasuk oleh Pak Agus dan rombongan yang juga mengajak serta wartawan lokal, dan salah satu televisi nasional.

Capek sudah pasti. Seperti yang pernah saya rasakan ketika ke Kampung Long Suluy bersama Pak Makmur. Senang juga sudah pasti.  Sebab bisa bertemu dengan warga dari beberapa kampung yang berkumpul di Long Suluy. Pengalaman yang juga belum pernah dirasakan oleh pak wakil bupati. Meriah juga sudah pasti. Bisa santap malam bersama warga, dan sesudahnya bernyanyi dan joget bersama. Kebetulan dalam rombongan ikut pula pemain musik dan penyanyi electone.

Pagi ini, 17 Agustus, lagu Indonesia Raya berkumandang, saat yang sama dan lagu kebangsaan yang sama juga berkumandang memecah kesunyian Kampung Long Suluy. Saat arek-arek Suroboyo di Surabaya meneriakkan pekik Merdeka, pekik yang sama juga menggema di Kampung Long Suluy.

Halaman:

Editor: uki-Berau Post

Tags

Rekomendasi

Terkini

Safari Ramadan Kukar, Serahkan Manfaat JKM

Kamis, 28 Maret 2024 | 11:29 WIB
X