Puisi Sunarti

- Kamis, 22 Agustus 2019 | 13:01 WIB

SAYA sangat percaya, wakil bupati Berau Agus Tantomo, mendapatkan banyak hal yang terjadi di luar dugaannya. Saat bertolak ke Kampung Long Sului, Kecamatan Kelay, untuk memimpin peringatan detik-detik Proklamasi pada Sabtu 17 Agustus lalu. Yang dipikirkan, justru perjalanannya yang menantang adrenalin.

Saya memang tidak berada di antara rombongan kecil Pak Agus. Saya bisa membayangkan bagaimana situasinya. Sudah beberapa kali saya ke Long Sului. Hanya kunjungan biasa. Bukan dalam rangka HUT Proklamasi. Pastilah beda. Banyak bedanya.

Mengenakan pakaian khas Dayak. Baju yang terbuat dari kulit kayu. Tutup kepala yang bagian depannya ada dua tanduk rusa berukuran kecil. Ada pita merah putih, melingkar di lengannya. Dan, Pak Agus hanya mengenakan sandal jepit berwarna hitam. Sama dengan peserta upacara yang juga tampil apa adanya.

Ada kelompok paduan suara pelajar Sekolah Dasar. Berbaju putih dan pita merah diikatkan di kepalanya. Sementara petugas pengibar dan komandan upacara, menggunakan pakaian sesuai tata upacara. Semua berlangsung khidmat.

Ketika seorang pelajar bernama Sunarti tampil berbaju merah dengan ukiran Dayak, maju untuk membacakan puisi, inilah salah satu kejutannya. Saat gladi bersih, tak banyak yang tahu. Pak Agus masih berdiri di podium selaku inspektur upacara. Sunarti tampil membacakan puisi berjudul ‘Surat untuk Ibu Pertiwi’.

Suaranya lantang. Bisa jadi, sejak rencana Pak Agus bersama-sama memperingati detik-detik Proklamasi di Sului, saat itu juga Sunarti mulai mempersiapkan diri. Waktunya sangat singkat. Saya tidak hadir mendengar langsung. Tapi, isi pikiran dan isi perasaan Sunarti, yang membuat saya jadi terharu melihat rekamannya dan saat saya membuat catatan ini.

Katanya, saat Sunarti membacakan puisi itu, terlihat dari kejauhan mata Pak Agus menjadi sembab. Hanya karena terhalang kacamata, sehingga tak melihat tetesan air mata yang jatuh. Semua peserta upacara tak kuasa menahan haru.

Sunarti kecil, mewakili warga sepanjang alur sungai Kelay. Mewakili ‘jeritannya’.  Mewakili keterbelakangannya. Mewakili akan banyak keterbelakangannya. Pada alenia kedua, puisi Sunarti tertulis begini :

Kami adalah Sului.

Kami adalah Anak Negeri

Yang merindukan kemerdekaan yang sama

Kemerdekaan Hati. Kemerdekaan Pikiran

Sunarti juga dalam puisinya, mengajak untuk melihat nyata apa yang ada di kampung Sului, dan juga kampung yang ada di sepanjang sungai Kelay. Pak Wabup sudah merasakan sendiri, bagaimana ia mempertaruhkan jiwanya, untuk melewati satu tikungan jeram yang menyeramkan. “Banyak ‘bangkai’ perahu ketinting persis di tempat tersebut,” kata Pak Talaki yang juga merangkap sebagai juru mudi. Pak Talaki ini pula yang menjadi juru mudi, saat saya berkunjung ke Sului.

Lalu, pada alenia akhir pusi Sunarti, bunyinya begini:

Karena itu,

Halaman:

Editor: uki-Berau Post

Tags

Rekomendasi

Terkini

Pemkot Balikpapan Didesak Fasilitasi Pom Mini

Kamis, 25 April 2024 | 10:00 WIB

HIMASJA Soroti Dugaan Pungli PTSL di Samboja

Rabu, 24 April 2024 | 09:37 WIB
X