Dilema Pejabat Publik

- Minggu, 25 Agustus 2019 | 18:56 WIB

PEMERINTAHAN sebagai alat untuk mencapai tujuan dari negara, mempunyai fungsi melaksanakan administrasi pemerintahan yang meliputi fungsi pengaturan, pelayanan, pembangunan, pemberdayaan, dan perlindungan.

Di antara itu, tugas pemerintahan adalah membuat keputusan atau tindakan sesuai kewenangan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Keputusan-keputusan yang diambil oleh pejabat pemerintahan itulah yang kemudian disebut dengan kebijakan.

Istilah kebijakan berbeda dengan kebijaksanaan. Menurut para ahli, kebijakan adalah suatu ketetapan yang memuat prinsip-prinsip, untuk mengarahkan cara-cara bertindak yang dibuat secara terencana dan konsisten dalam mencapai tujuan tertentu. Ciri dari kebijakan antara lain ditandai dengan perilaku yang konsisten dan berulang, berorientasi kepada masalah dan tindakan untuk menyelesaikan masalah. Sedangkan istilah kebijaksanaan dalam praktiknya bisa disepadankan dengan istilah diskresi sesuai ketentuan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.

Pejabat pemerintahan merupakan unsur yang melaksanakan fungsi pemerintahan, baik di lingkungan pemerintah maupun penyelenggara negara lainnya. Pejabat pemerintahan memiliki wewenang atau hak selaku pejabat pemerintahan maupun penyelenggara negara lainnya, untuk mengambil keputusan maupun tindakan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Yang perlu digarisbawahi, kewenangan yang dimiliki oleh pejabat pemerintah adalah kewenangan untuk melakukan keputusan maupun tindakan dalam ranah hukum publik.

Bagi pejabat publik, hampir setiap saat selalu dihadapkan dengan situasi dan kondisi dilematis, yakni kondisi sulit akibat dari adanya permasalahan yang menawarkan kemungkinan solusi yang sama-sama sulit untuk dipilih. Semua pilihan solusi, sama-sama tidak menyenangkan, tidak mengenakkan dan mungkin juga tidak menguntungkan. Namun demikian agar ada kepastian hukum serta untuk tercapainya tujuan yang lebih besar di masa depan, maka keputusan harus tetap di ambil. Dalam hal ini mungkin pernah kita dengar istilah kebijakan populis dan tidak populis.

Dinamika masyarakat di era kebebasan telah berlangsung sedemikian rupa sehingga mengubah cara pandang masyarakat kepada pemerintah. Pada situasi tertentu, masyarakat memosisikan diri sebagai mitra atau partner pemerintah dalam pembangunan. Namun dalam situasi lain, terkadang ada sekelompok masyarakat “tidak mau diatur” oleh pemerintah. Mereka menganggap karena pemerintah adalah pelayan masyarakat, maka sepatutnya semua hajat yang diperlukan dapat dilayani secara maksimal. Kondisi seperti ini terkadang membuat sebuah kebijakan menjadi sulit untuk dieksekusi secara ideal.

Dalam komunikasi dikenal adanya gangguan yang bisa mendistorsi proses pengiriman pesan. Gangguan tersebut akan menyebabkan perbedaan antara pesan yang diterima oleh penerima dengan pesan yang dikirim oleh sumber. Bisa jadi reposisi peran masyarakat dari mitra menjadi oposisi, disebabkan adanya gangguan komunikasi. Jika gangguan tersebut tidak diatasi, maka akan muncul sikap apatis dari sebahagian masyarakat, sikap acuh, tidak peduli dan bahkan menganggap salah semua kebijakan yang ada.

Dalam situasi seperti ini, semua pihak mesti bisa arif dan bijaksana. Dulu  keputusan kurang melibatkan partisipasi masyarakat karena keputusan diambil secara top down. Sekarang eranya berbeda, proses kebijakan publik melibatkan partisipasi masyarakat karena kebijakan dilakukan secara bottom up.

Sekalipun demikian, tentu tidak semua kepentingan bisa diakomodir, karena perumusan sebuah kebijakan tetaplah harus berdasarkan kepada norma hukum dan norma etik. Artinya upaya kompromi yang dilakukan tetaplah tidak akan bisa memuaskan semua pihak.

Urusan-urusan publik memang akan selalu memunculkan dilema. Upaya kompromi aspirasi dan akomodasi kepentingan dengan berbagai peraturan yang berlaku tidak pernah bisa benar-benar melahirkan win-win solution. Bagi yang kepentingannya tidak terakomodir, mereka dengan mudah menyatakan dirinya sebagai “korban”. Namun lain halnya bagi pejabat yang diberi kewenangan, mereka disumpah untuk melaksanakan urusan publik sesuai peraturan yang berlaku, serta mempunyai tanggung jawab untuk melakukan eksekusi kebijakan yang sudah diputuskan.

Belum lagi ekspektasi dari masyarakat yang sangat tinggi terhadap pejabat publik. Seolah pejabat publik adalah figur setengah ‘Malaikat. Harta kekayaan sebelum menjabat, saat sedang menjabat, dan setelah menjabat harus dilaporkan. Gestur, cara berbicara, pilihan diksi, dan cara memberikan solusi atas suatu permasalahan menjadi sorotan publik. Profil keluarga, hobi, busana dan makanan juga tak luput dari perhatian. Seakan privasi itu dikecualikan dari pejabat publik.

Maka menjadi pengelola urusan publik harus memiliki kesiapan secara lahir maupun batin, harus memiliki kecerdasan spiritual, emosional dan sosial. Sebuah dialog antara Umar bin Abdul Azis dan putranya Abdul Malik, menggambarkan totalitas pengabdian seorang pemimpin. Disebutkan bahwa Kholifah Umar bin Abdul Azis ingin istirahat sejenak, sekadar meluruskan punggungnya setelah tenaga dan pikirannya terkuras untuk mengurusi wafatnya Khalifah sebelumnya yakni Sulaiman bin Abdul Malik. Lalu datanglah putra beliau Abdul Malik yang baru berumur 17 tahun.

Abdul Malik: “Apa yang ingin Anda lakukan wahai Amirul Mukminin?”

Umar bin Abdul Azis: “Wahai anakku, aku ingin memejamkan mata barang sejenak karena sudah tak ada lagi tenaga yang tersisa.”

Abdul Malik: “Apakah Anda akan tidur sebelum mengembalikan hak orang-orang yang dizalimi wahai Amirul Mukminin?”

Halaman:

Editor: uki-Berau Post

Tags

Rekomendasi

Terkini

Manajemen Mal Dianggap Abaikan Keselamatan

Jumat, 19 April 2024 | 08:25 WIB

Korban Diseruduk Mobil Meninggal Dunia

Jumat, 19 April 2024 | 08:24 WIB

60 Ribu Pendatang Serbu Balikpapan

Jumat, 19 April 2024 | 08:19 WIB

Jalan Rusak di Siradj Salman Minta Segera Dibenahi

Kamis, 18 April 2024 | 10:00 WIB

Pemotor Terlempar 25 Meter setelah Diseruduk Mobil

Kamis, 18 April 2024 | 07:50 WIB
X