Angka Kekerasan Seksual Meningkat

- Jumat, 20 September 2019 | 17:50 WIB

TANJUNG REDEB - Kekerasan seksual pada anak dan perempuan tahun 2019 ini meningkat dibanding 2018 lalu. Berdasarkan data Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (P2TP2A) Berau, 2018 lalu, angka kekerasan seksual 16 kasus. Sedangkan sampai September tahun ini, sudah mencapai 39 kasus.

Dijelaskan Sekretaris P2TP2A Berau, Noor Indah, wilayah dengan kasus kekerasan seksual terbanyak saat ini berada di Kecamatan Segah dengan 4 kasus. “Pelakunya ada yang anak-anak dengan sebayanya, dan anak-anak dengan dewasa,” kata Indah, kepada Berau Post, Selasa (17/9) lalu.

Lebih lanjut dikatakannya, beberapa kasus kekerasan seksual anak juga didapati di Kecamatan Batu Putih, yakni 2 kasus. Kasusnya anak-anak usia 12 tahun berhubungan dengan orang dewasa yang sudah menikah.

“Jadi anak usia 12 tahun tersebut seakan-akan seperti dieksploitasi secara seksual oleh orang dewasa, dengan pura-pura dipacari lalu diajak berhubungan,” jelasnya.

“Anak seusia itu tentunya sudah tumbuh hormon, dan sudah mulai suka dengan lawan jenis. Makanya hanya dengan dipuji, disayang-sayang, korban (anak-anak) melampiaskan rasa seksualnya,” lanjutnya.

Wilayah Kecamatan Tanjung Redeb juga memiliki kasus kekerasan seksual yang cukup banyak. Apalagi memang merupakan wilayah perkotaan. Termasuk di Kecamatan Sambaliung.

Menurut Indah, meningkatnya kekerasan seksual ini dipengaruhi arus informasi dan teknologi internet yang saat ini sangat mudah diakses oleh anak-anak. Selain itu, kurangnya kepedulian orangtua kepada anak sehingga menyebabkan anak melakukan hal yang tidak edukatif.

“Anak-anak ini biasanya juga sering melihat konten yang kurang edukatif di usianya," katanya.

Dikatakan Indah, kemudahan akses dalam mendapatkan informasi melalui teknologi merupakan sebuah keharusan bagi masyarakat dan juga anak. Namun, dengan adanya kemudahan tersebut, sekiranya orangtua juga tidak memberikan kebebasan sebebas-bebasnya kepada anaknya.

Mengingat bahwa anak juga memiliki potensi untuk mendapatkan informasi yang jauh lebih dalam dibanding orang tua. “Sehingga anak juga harus selalu dikontrol agar tidak terjerumus mengonsumsi informasi yang tidak baik dengan fasilitas yang diberikan,” ucapnya.

Dari sekian kasus yang ditangani UPT P2TP2A Berau, lanjut Indah, pelaku yang melakukan kasus asusila tersebut kebanyakan sebelumnya sering melihat video porno. “Jadi dia ingin mencoba dan mempraktikkan dengan orang lain,” ucapnya.

Lebih lanjut dikatakannya, meskipun saat ini di dalam ruang lingkup sekolah juga telah ada peraturan, siswa mulai SD sampai SMA tidak boleh memakai handphone, namun ruang lingkup di luar sekolah mereka bebas menggunakan. Dan bahkan mereka bisa saling bertukar informasi.

Dijelaskannya, dalam rapat koordinasi beberapa waktu lalu, terkait data kondisi kekerasan seksual anak di Berau, Wakil Bupati Berau Agus Tantomo mengusulkan melakukan razia handphone milik peserta didik. Sampai saat ini pun, P2TP2A bersama wabup masih mencari formulasi untuk melakukan razia tersebut.

“Masalah kekerasan seksual anak bukan hanya tanggung jawab P2TP2A Berau, tetapi peran orangtua juga sangat penting. Di mana anak setiap harinya selalu berkumpul dan mendapatkan edukasi sebelum belajar ke dunia luar,” jelas Indah.

Saat ini kata dia, sudah ada komunitas perlindungan anak di Berau. Yakni komunitas Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat (PATBM). Namun partisipasi dari masyarakat juga masih kurang. (*/sgp/har)

Editor: uki-Berau Post

Tags

Rekomendasi

Terkini

Disediakan Duit Rp 800 Juta untuk Tugu PKK Bontang

Selasa, 19 Maret 2024 | 08:15 WIB

Kapolda-Pangdam  Blusukan Salurkan Bansos

Senin, 18 Maret 2024 | 19:42 WIB

Itulah Hakim Progresif

Senin, 18 Maret 2024 | 09:54 WIB
X