Lupakan 5W + 1H!

- Minggu, 22 September 2019 | 07:44 WIB

SELAMA ini, setiap kali belajar soal jurnalistik atau menulis berita, selalu muncul komponen 5W plus 1H. Ini seolah menjadi rumus yang wajib dihafal dan harus khatam. Yang dimaksud 5W maksudnya adalah what (apa), who (siapa), where (di mana), when (kapan), why (kenapa), dan 1H adalah how alias bagaimana. Komponen di atas wajib diketahui. Satu saja ada yang kurang, maka sebuah produk berita dianggap kurang lengkap dan bisa dikatakan tidak memenuhi standar kerja jurnalistik.

Tapi mulai saat ini, saatnya melupakan 5W dan 1H itu. Sebab, menulis berita dengan jelas dan lengkap itu justru bisa berpotensi terkena hukuman penjara dan denda Rp 500 juta. Loh kok bisa? Ya itulah yang tercantum dalam Pedoman Pemberitaan Ramah Anak (PPRA) yang sudah dikeluarkan Dewan Pers bekerja sama dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.

Pedoman Pemberitaan Ramah Anak (PPRA) dikeluarkan Dewan Pers dengan peraturan No 1/PERATURAN –DP/II/2019 tertanggal 9 Februari 2019. PPRA ini menjadi implementasi agar media dan wartawan ikut serta melindungi hak, harkat serta martabat anak sebagai generasi penerus.

Ini sekaligus sebagai penjabaran Undang-Undang No 40 tahun 1999 tentang Pers, Undang-Undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UU No 35 tahun 2014 perubahan atas UU no 35 Tahun 2012), serta Undang-Undang No 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana  Anak (SPPA).

Ada 12 poin penting yang diatur dalam PPRA tersebut yaitu meliputi, merahasiakan indentitas anak, memberitakan secara faktual namun bersifat positif dan empati, dan tidak menggali hal hal di luar kapasitas anak. Selanjutnya tidak menyiarkan visual atau audio identitas atau asosiasi identitas anak, dalam membuat berita mempertimbangkan dampak psikologis anak dan efek negatif dari berita yang berlebihan.

Selain itu, tidak memberitakan anak yang sedang dalam perlindungan LPSK, tidak mewancarai saksi anak, serta wartawan menghindari pengungkapan identitas pelaku kejahatan seksual yang mengaitkan hubungan darah. Sementara dalam berita anak hilang, maka dapat disebutkan identitasnya sampai anak ditemukan keberadannya. Selain itu wartawan tidak memberitakan identitas anak yang dilibatkan orang tua dalam kegiatan politik dan yang mengandung SARA, juga tidak memberitakan tentang anak dengan materi hanya dari media sosial, serta dalam peradilan anak wartawan menghormati Undang Undang Sistem Peradilan Pidana Anak.

Keberadaan PPRA memang cukup membuat para wartawan geregetan. Alih-alih harus membuat berita selengkap-lengkapnya bahkan harus detail, namun khusus soal anak, hal ini harus dibuang. Pendek kata, lupakan doktrin 5W dan 1H yang selama ini selalu muncul dalam pelajaran bagaimana menulis berita yang lengkap dan jelas. Menyangkut berita soal anak, yang berlaku justru semakin tidak lengkap, semakin baik. Pokoknya harus menutup rapat, merahasiakan anak yang dimaksud.

Lantas kenapa pelakunya bahkan lokasinya harus dirahasiakan? Ya itu tadi, untuk menutup kemungkinan orang tahu siapa identitas anak yang menjadi korban. Jangankan menyebutkan namanya, menyebut inisialnya saja bagi pemberitaan yang berkaitan dengan anak, sangat tidak dibenarkan.

Namun nyatanya hingga saat ini masih ada saja media yang menuliskan inisial korban termasuk pelaku yang dekat dengan korban. Kenapa tidak dibenarkan menulis inisialnya? Karena itu memudahkan pembaca merujuk pada nama seseorang. Termasuk nama sekolah tidak dibenarkan ditulis, termasuk alamat rumah atau tempat tinggal korban. Kecuali kasusnya itu sendiri sebagai bahan pembelajaran.

Tak hanya wartawan, para editor atau redaktur serta pemimpin redaksi dan pemilik media harus memahami ketentuan yang relatif baru ini. Agar wartawan tidak serta-merta disalahkan ketika membuat berita tidak lengkap terkait kasus anak.

Ketentuan mengenai hal tersebut bisa disimak pada Pasal 19 Undang Undang No 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak  Identitas Anak. Pada ayat 1, Anak Korban, dan/atau Anak Saksi wajib dirahasiakan dalam pemberitaan di media cetak ataupun elektronik. Kemudian ayat 2, Identitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi nama Anak, nama Anak Korban, nama Anak Saksi, nama orang tua, alamat, wajah, dan hal lain yang dapat mengungkapkan jati diri Anak, Anak Korban, dan/atau Anak Saksi.

Pelanggaran atas pasal ini akan berimplikasi pidana sesuai Pasal 97, disebutkan setiap orang yang melanggar kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 500 juta.

Dengan demikian, para pekerja jurnalistik tidak hanya dituntut memahami Kode Etik Jurnalistik, namun juga wajib mengetahui PPRA ini. Apalagi Dewan Pers sudah memasukkan materi Kode Etik Jurnalistik (KEJ) dan Pedoman Pemberitaan Ramah Anak (PPRA) ini sebagai komponen mata uji yang wajib dipahami para wartawan yang sedang mengikuti Uji Kompetensi Wartawan (UKW). Hal tersebut mulai berlaku sejak Januari 2019.  

Dengan tambahan materi uji tersebut, yakni khusus KEJ dan PPRA, maka sejak Januari 2019 materi uji untuk kelompok muda dan madya menjadi 10, dari semula 9 mata uji. Sedangkan untuk kelompok utama menjadi 9 mata uji dari semula 8 mata uji dengan 7 penilaian. Sebagai informasi, nilai untuk dua mata uji yakni Rapat Redaksi/Perencanaan dan Rapat Redaksi Evaluasi, semula digabung menjadi satu penilaian.

Mudah-mudahan para wartawan di Tanah Air semakin memahami aturan dan ketentuan ini. Semoga. (*/udi)

Halaman:

Editor: uki-Berau Post

Tags

Rekomendasi

Terkini

Stadion Batakan Segera Dilengkapi Lapangan Latihan

Selasa, 23 April 2024 | 13:22 WIB

BPKAD Proses Hibah Lahan Perum Bumi Sempaja

Selasa, 23 April 2024 | 10:00 WIB

SIC Bersedia Biayai Waterfront City

Selasa, 23 April 2024 | 08:30 WIB

Lima SPBU di Kutai Barat Wajibkan QR Barcode

Senin, 22 April 2024 | 20:00 WIB

SIC Bersedia Biayai Waterfront City

Senin, 22 April 2024 | 16:00 WIB

Pemilik Rumah dan Ruko di Paser Diimbau Punya Apar

Senin, 22 April 2024 | 12:30 WIB
X