Warga Sudah Tahu

- Kamis, 3 Oktober 2019 | 13:53 WIB

SUDAH jadi topik pembicaraan di warung kopi. Rencana penataan bangunan yang berdiri di tepi sungai Kelay di Jalan P Diguna dan Jalan Yos Sudarso. Padahal, bangunannya sudah banyak sekali. Ratusan jumlahnya.  Termasuk rumah ibadah.

Inginnya naik perahu Ketinting, agar bisa mengabadikan lebih banyak bangunan di tepi sungai itu. Tapi panasnya minta ampun. Apalagi, baju batik –kan kemarin hari Batik Nasional - tambah panas rasanya.

Sudahlah, saya putuskan saja foto pada bangunan terakhir yang berdiri di atas sungai. Bangunan yang cukup dikenal warga. Kan masih terlihat juga beberapa bangunan yang ada di belakang saya. Toilet apung, juga masih nampak.

Sebutan jalur hijau sudah ada sejak lama. Awalnya jumlah bangunan tak sebanyak sekarang. Hanya ada bangunan tepat di sisi jalan. Semua rumah panggung, karena memang lokasinya di tepi sungai.

Tahun ke tahun, jumlahnya bertambah. Pemilik bangunan utama di bagian depan, menambah bangunan hingga beberapa meter ke belakang. Itu tidak lain, untuk memenuhi permintaan akan tempat tinggal. Di atas sungaipun, tak masalah.

Mengapa memilih tinggal di atas sungai? Bisa jadi karena kawasan itu berdekatan dengan pusat kegiatan perekonomian. Yakni, Pasar Gayam. Sepanjang jalan P Diguna, juga menjadi kawasan bisnis, hingga ke Jalan Yos Sudarso.

Saya belum mendapatkan data, berapa Rukun Tetangga (RT) juga berapa rumah yang ada di sepanjang jalan itu. Kalau melihat dari udara, banyak sekali. Ratusan jumlahnya. Juga tentu, ratusan penghuninya.

Sudah berlapis-lapis bangunan ke arah sungai. Ada yang tetap mempertahankan bangunannya. Lebih banyak lagi yang sudah mengubah menjadi bangunan baru. Bahkan, bangunan permanen. Kata warga, perizinannya lengkap.

Memang wajah kota akan menjadi lebih cantik, bila turap dari Jalan Ahmad Yani, berlanjut hingga ke Jalan Yos Sudarso. Warga di jalan itu, bisa saling lambai dengan warga Sambaliung yang terlihat dari seberang sungai. Juga bisa menyaksikan, ramainya angkutan sungai.

Muncullah gagasan yang sebetulnya sudah ada sejak lama. Bukan sekarang saja keinginan itu. Keinginan melakukan penataan di bantaran sungai. Tapi setiap keinginan itu muncul, perlahan menjadi redup. Tak ada kelanjutannya.

Saya membayangkan, cantiknya kota Tanjung Redeb bila rencana itu bisa terwujud. Tepian yang tidak perlu diisi dengan kegiatan kuliner. Ruang terbuka yang bisa dijadikan warga untuk datang bermain bersama keluarga.

Saya juga membayangkan, bagaimana resahnya warga bila proyek itu benar-benar dilaksanakan. Mereka akan kehilangan tempat tinggal. Mereka juga kehilangan rumah sewa yang relatif tarifnya tidak mahal.

Saya merasa sangat optimistis, rencana itu bisa berjalan lancar. Harus ada tim resmi yang melakukan sosialisasi. Bagaimana rencana besar, dalam menata kampung yang punya nilai sejarah sejak lama.

Kalau ada wacana tidak diberikan penggantian, rasanya inilah tantangan yang paling besar. Saya pernah jumpa dengan salah seorang pemilik rumah. Kata dia, sangat setuju. Tapi, harus ada pergantian lahan dan bangunan. Sebab, ia memiliki surat dan akta resmi.

Ini memang pekerjaan besar dengan risiko sosial yang juga besar. Pekerjaan besar dengan risiko politik yang  besar lagi. Pekerjaan yang biayanya tidak sedikit.

Halaman:

Editor: uki-Berau Post

Tags

Rekomendasi

Terkini

HIMASJA Soroti Dugaan Pungli PTSL di Samboja

Rabu, 24 April 2024 | 09:37 WIB

Stadion Batakan Segera Dilengkapi Lapangan Latihan

Selasa, 23 April 2024 | 13:22 WIB

BPKAD Proses Hibah Lahan Perum Bumi Sempaja

Selasa, 23 April 2024 | 10:00 WIB

SIC Bersedia Biayai Waterfront City

Selasa, 23 April 2024 | 08:30 WIB

Lima SPBU di Kutai Barat Wajibkan QR Barcode

Senin, 22 April 2024 | 20:00 WIB

SIC Bersedia Biayai Waterfront City

Senin, 22 April 2024 | 16:00 WIB
X