Memohon Keselamatan, Digelar setiap Bulan Safar

- Jumat, 11 Oktober 2019 | 18:41 WIB

Masyarakat Suku Bajau yang mendiami wilayah pesisir pantai dan pulau-pulau di Kabupaten Berau memiliki tradisi dan budaya yang beragam. Salah satunya tradisi tolak bala.

MAULID HIDAYAT, Tanjung Batu

MASYARAKATSuku Bajau mayoritas tinggal di pulau-pulau dan daerah pesisir. Seperti Pulau Derawan, Pulau Maratua, Pulau Balikukup, Pantai Harapan, dan Teluk Sulaiman. Sebagian besar mereka bermatapencaharian sebagai nelayan.

Agar diberi keselamatan dalam mencari rezeki, masyarakat Suku Bajau punya tradisi tolak bala. Seperti yang dilaksanakan Kamis (10/10) kemarin, di Pulau Pasir Putih, Tanjung Batu, Kecamatan Pulau Derawan.

Ritual ini telah ada sejak zaman penjajahan, tahun 1800 Masehi. Suku Bajau pertama kali melaksanakan ritual ini di Pulau Derawan.

Menurut Refliansyah, Sekretaris Kerukunan Keluarga Bajau (KKB), tradisi ini rutin dilaksanakan setiap tahun, di bulan Safar, sesuai dengan penanggalan Arab. “Suku Bajau rata-rata memeluk agama Islam. Karena itu mereka mengadakan acara buang nahas di bulan Safar,” kata Refli, kemarin (10/10).

Ritual ini diawali dengan membaca doa tolak bala serta doa keselamatan dunia dan akhirat, yang dilakukan di Masjid. Kemudian menulis doa-doa di daun kelapa muda atau janur.

Refli menjelaskan, sebelum pembacaan doa, ibu-ibu di rumah masing-masing sibuk memasak ketupat yang akan dibawa ke masjid untuk dibacakan doa. Namun, ketupat tersebut harus berjumlah ganjil. Jumlah ganjil tersebut tentu memiliki makna. Yang menggambarkan Rasulullah jika melaksanakan sesuatu selalu ganjil, dan dalam Islam pun Asmaul Husna juga ganjil, yakni 99.

Pembacaan doa dipimpin oleh tokoh agama setempat. Baik orang tua maupun anak-anak hanyut dalam suasana lantunan doa. Lantunan ayat suci Alquran mulai terdengar dari berbagai penjuru masjid. Pembacaan ayat suci ini bertujuan untuk meminta rida sang Khalik.

Usai membaca doa, pemuka agama mempersilakan warga untuk menyantap ketupat yang dibawa. Namun, kebanyakan warga akan memakannya secara bersama-sama di pinggir pantai. Tak sedikit juga yang membawa pulang ke rumah untuk dinikmati bersama keluarga.

“Ini untuk meningkatkan rasa persaudaraan. Tolak bala ini tidak hanya dilaksanakan Suku Bajau, namun juga saat ini berbagai suku yang ada di daerah pesisir ikut melaksanakannya,” ungkap Refli.

Sementara daun nyiur yang bertuliskan doa-doa tadi akan dihanyutkan ke laut. Ini memiliki makna agar masyarakat Suku Bajau yang dahulunya mayoritas nelayan diberikan keselamatan dalam mencari rezeki.

Setelah prosesi makan ketupat bersama dilaksanakan, warga akan turun ke laut. Di laut, warga tidak langsung mandi, namun mereka kembali harus berdoa yang dipimpin oleh pemuka agama. Setelah melakukan doa bersama sesuai dengan ajaran agama Islam. Kemudian pemuka agama mulai melakukan penyiraman kepada warga menggunakan tampi. Setelah itu, warga pun saling menyiram menggunakan tangan untuk membersihkan diri.

Menurut Refli, proses ritual tolak bala dari awal hingga usai sesuai dengan kaidah Islam. Doa-doa yang dipanjatkan merupakan ayat-ayat suci Alquran. “Ini sudah tradisi nenek moyang kami untuk menolak musibah, atau bahasanya Bajaunya Tulak Balla. Doa-doa yang dilantunkan sejak zaman dahulu merupakan ayat-ayat suci Alquran,” tutupnya. (*/har)

Editor: uki-Berau Post

Tags

Rekomendasi

Terkini

Camat Samboja Barat Tepis Isu Dugaan Pungli PTSL

Kamis, 25 April 2024 | 18:44 WIB

Sembilan Ribu Anak di PPU Diberi Seragam Gratis

Kamis, 25 April 2024 | 18:00 WIB

Pemkot Balikpapan Didesak Fasilitasi Pom Mini

Kamis, 25 April 2024 | 10:00 WIB

HIMASJA Soroti Dugaan Pungli PTSL di Samboja

Rabu, 24 April 2024 | 09:37 WIB
X