Nasib Pelayanan Kesehatan di Balik PMK NO.30/2019

- Minggu, 13 Oktober 2019 | 18:52 WIB

TERBITNYA Peraturan Menteri Kesehatan (PMK) Nomor 30 Tahun 2019 menggantikan PMK Nomor 56 Tahun 2014 tentang Klasifikasi dan Perizinan Rumah Sakit menimbulkan pro kontra dan menyita perhatian publik terutama bagi insan kesehatan. 

Lima tahun implementasi PMK nomor 56 sepertinya bukanlah waktu yang cukup untuk dapat secara optimal diterapkan lalu kemudian dievaluasi khususnya di daerah. Publik bisa saja kembali mempertanyakan substansi dan tujuannya, mengingat dampak yang muncul dari peraturan tersebut menimbulkan semakin banyaknya permasalahan kesehatan dan semakin berjaraknya masyarakat dengan akses pelayanan kesehatan yang bermutu.

Hal yang paling mendasar yang perlu dilakukan adalah bagaimana ketersediaan akses masyarakat terhadap mutu pelayanan kesehatan. Mutu pelayanan terkait tidak hanya infrastruktur dan alat kesehatan tapi jauh daripada itu bagaimana sebuah rumah sakit dapat menyediakan sumber daya manusia kesehatan. Terutama akses pelayanan tenaga medis khususnya dokter. Seperti dokter gigi, dokter spesialis, dan dokter gigi spesialis.

 

Kemunduran Mutu Pelayanan

Penetapan klasifikasi Rumah Sakit menurut PMK No 30 Tahun 2019 yang mensyaratkan Rumah Sakit Umum Kelas C yang tidak mewajibkan adanya spesialis mata, THT-KL, Kulit Kelamin, Paru, Kedokteran Jiwa, Orthopedi dan Jantung

Sementara itu beberapa spesialis lain selain spesialis dasar seperti Bedah Mulut, Prosthodonsi, Ilmu Penyakit Mulut, Orthodonsi dan kedokteran forensik ditetapkan sebagai spesialis yang tidak boleh ada di rumah sakit Kelas C kecuali atas rekomendasi Dinas Kesehatan Provinsi dalam kurun waktu tertentu.

Yang paling ironis dalam data lampiran PMK tersebut tidak ada satupun dokter gigi spesialis yang wajib ada pada rumah sakit Kelas B, bahkan Rumah Sakit Kelas A sekalipun. Hal ini tentu tidak sesuai dengan dasar filosofis memberikan pelayanan ke masyarakat berbasis kompetensi medis, sehingga rumah sakit yang semestinya memberikan pelayanan lebih holistik, terintegrasi lintas spesialis dan lebih modern akan sulit tercapai.

 

Sistem Rujukan vs Akses Pelayanan 

Indonesia secara geografis merupakan daerah Kepulauan. Karena itu dalam era JKN mutu pelayanan mestinya penguatan pada aspek akses pelayanan yang cepat dan tepat, pilihan terhadap penguatan sistem rujukan sangat tidak kontekstual dengan kondisi negara Indonesia. Beban kepada masyarakat peserta BPJS dengan iuran yang sudah naik itu jangan lagi ditambah dengan biaya transportasi, biaya penginapan,akomodasi rujukan lintas provinsi. Hal-hal teknis sedemikian rumit tersebut sungguh merupakan jerit batin masyarakat yang tidak mampu, ada ratusan juta rakyat Indonesia  hidup di daerah terpencil yang mestinya didekatkan dengan fasilitas dan dokter/dokter gigi spesialis bukan justru dijauhkan.

Anda bisa bayangkan, betapa rumit jika ada pasien yang mengalami kelainan Temporo Mandibular Disorder (TMD) atau kelainan sendi rahang, hingga pasiennya tidak bisa buka mulut yang mesti dirawat oleh Spesialis Prostodonsi. Ataukah misalnya seorang pasien yang mengalami kecelakaan fraktur atau patah tulang rahang yang mesti dilakukan operasi dan rehabilitasi oklusi (mengembalikan gigitan normal) oleh seorang dokter gigi spesialis bedah mulut yang notabene kedua spesialis tersebut tidak boleh ada di rumah sakit kelas C.

 

Dampak Sosial

 

Halaman:

Editor: uki-Berau Post

Tags

Rekomendasi

Terkini

Camat Samboja Barat Tepis Isu Dugaan Pungli PTSL

Kamis, 25 April 2024 | 18:44 WIB

Sembilan Ribu Anak di PPU Diberi Seragam Gratis

Kamis, 25 April 2024 | 18:00 WIB

Pemkot Balikpapan Didesak Fasilitasi Pom Mini

Kamis, 25 April 2024 | 10:00 WIB

HIMASJA Soroti Dugaan Pungli PTSL di Samboja

Rabu, 24 April 2024 | 09:37 WIB
X