Dua Pedagang Diberi Ampunan

- Senin, 14 Oktober 2019 | 18:01 WIB

TANJUNG REDEB– Kepala Seksi Konservasi Wilayah I, Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalimantan Timur, Dheny Mardiono, tak bisa tersenyum. Pasalnya, dirinya kembali menemukan dua orang pedagang di Jalan Soetomo, Tanjung Redeb, yang menjual aksesori berbahan karapas penyu, sekitar pukul 13.00 Wita, Minggu (13/10).

Dheny yang ditemui di ruang kerjanya kemarin menjelaskan, pihaknya mendapatkan informasi dari masyarakat mengenai penjualan aksesori berbahan karapas penyu. Kemudian melakukan pengecekan bersama aparat Polres Berau. Hasilnya, ditemukannya dua pedagang berinisial S (40) dan AJ (25) yang menjual gelang berbahan dasar karapas penyu.

“Ada 19 buah (gelang berbahan penyu) yang kami temukan dan amankan. Dari kios milik S, kami amankan ada 11 sedangkan sisanya berada di kios milik AJ,” ujarnya kepada Berau Post.

Keduanya mengaku tidak mengetahui bahwa, menjual sisik penyu bisa dipidana. Mereka menuturkan, hanya mengetahui jika tidak boleh menjual telur penyu. Dari pengakuan kedua pedagang tersebut, mereka baru pertama kali menjual aksesori tersebut.

“Pengakuannya, mereka membeli dari seorang ibu-ibu yang membawa tas besar dengan harga Rp 15 ribu. Kemudian dijual lagi dengan harga Rp 25 ribu hingga Rp 30 ribu,” katanya.

Dari pengakuan kedua pedagang tersebut, mereka tidak mengenal siapa yang menjual dan baru pertama kali bertemu. Serta baru beberapa hari membeli gelang penyu tersebut.

“Mereka mengaku belum ada yang terjual,” katanya.

“Ini tugas berat kami. Para pedagang tersebut tidak mengetahui siapa yang menjual karapas penyu tersebut,” sambungnya.

Ia menjelaskan, perlindungan terhadap penyu telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 5/1990. Dan sesuai amanat pasal 21 ayat 2 Huruf D undang-undang tersebut, setiap orang yang nekat berjualan bagian hewan yang dilindungi oleh undang-undang, bisa dipidanakan.

“Kedua pedagang tersebut, saat ini masih kami berikan teguran. Mereka juga sudah membuat surat pernyataan bahwa tidak akan menjual aksesori berbahan penyu lagi,” katanya.

Dheny menambahkan, untuk mendapatkan karapas dari penyu sisik, para pemburu melakukan penyiksaan terhadap satwa yang dilindungi tersebut. Sebab, penyu sisik yang masih hidup, terlebih dahulu disiram dengan air panas atau dibakar bagian karapasnya, untuk memudahkan pemisahan karapas dengan tubuh penyu.

Selanjutnya, setelah penyu disiram air panas, para pemburu lantas mencungkil karapas menggunakan pisau secara paksa, sampai benar-benar terlepas dari tubuh penyu. Penyu yang masih hidup, kemudian dilepaskan kembali ke laut. “Saat dilepas tanpa karapas, penyu tidak akan bisa bertahan hidup lebih lama, karena penyu yang terluka, tidak akan tahan menahan rasa sakit akibat terkena air laut,” jelasnya.

“Logikanya sederhana. Jika manusia terluka, kemudian berenang di laut, apakah tidak sakit di bagian luka. Begitu juga penyu. Itu penyiksaan di luar batas kemanusiaan,” sambungnya.

Namun Dheny menduga, aksesori berbahan karapas penyu sisik tersebut didatangkan dari luar daerah. Sebab di perairan Berau, ujar dia, lebih didominasi penyu hijau. “Kami masih menduga, bahwa sisik tersebut dari luar,” tambahnya. (*/hmd/udi)

Editor: uki-Berau Post

Tags

Rekomendasi

Terkini

Jalan Rusak di Siradj Salman Minta Segera Dibenahi

Kamis, 18 April 2024 | 10:00 WIB

Pemotor Terlempar 25 Meter setelah Diseruduk Mobil

Kamis, 18 April 2024 | 07:50 WIB

Pertamina Kirim 18 Ton BBM ke Kutai Barat

Rabu, 17 April 2024 | 18:00 WIB
X