Tuha Sudah Wal

- Rabu, 16 Oktober 2019 | 11:53 WIB

USIA tak bisa disembunyikan. Jalan kaki sebentar, lalu nafas terengal-engal, itu salah satu tanda. Kalau sudah begitu, teman saya pasti bilang “tuha sudah wal (wal singkatan kawal, yang artinya kawan)”.

Bila mengendarai kendaraan yang sering ditunggangi anak muda, yang lain pasti komentar “tuha sudah wal”.

Tapi, ketika ada berita pengantin pria berusia 71 tahun yang menikahi perempuan belasan tahun. Bukan komentar seperti itu yang terlontar. Kira-kira seperti apa komentarnya. Yang saya pernah dengar, komentarnya “orang tuha hebat,”. Ada juga yang bilang “sayang tempatnya jauh, kalau dekat ia mau berguru,”.

Di warung Hokky, kemarin (15/10) ada tamu yang mampir mengendarai motor Honda keluaran tahun 70. Ustaz Dasat Latif menyebutnya ’Honri’ alias Honda Riolo (dulu). Kalau di Jember, kata teman saya namanya Motor Ulung.

Di kampus dulu, saya mengendarai motor ini. Makanya, ketika melihat saya lalu teringat. Warnanya sama. Juga merah. Masih utuh, kecuali dudukannya yang berubah.

Motor saya dulu dipakai bertiga, jadi kurang perawatan. Saya pernah mencoba jadi jalan yang posisi mendaki. Persis di depan Hotel Mesra. Tiba-tiba terdengar ada suara ledakan.  Saya kira ban motor yang melintas dekat saya yang bermasalah. Ternyata, busi motor yang saya tunggangi melacung (lepas) dari tempatnya.

Saya tertawa, sambil mencari-cari di mana jatuhnya. Teman-teman saya juga tertawa, menceritakan kejadian itu. Akhirnya motor saya, diberi nama ‘Si Melacung’.

Motor itu terbawa pulang ke Makassar. Entah bangkainya ada di mana. Katanya tidak jalan lagi. Motor itu berjasa besar, saya tumpangi menuju Stadion Segiri pada acara  wisuda.

Urusan tuha, bukan saja usia saya dan Honda 70 yang dipakai tamu yang datang ke warung Hokky. Sebutan tuha, juga berlaku pada mesin Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Lati.

Ramai diperbincangkan, akibat seringnya dilakukan pemadaman listrik ke rumah warga bergantian. Ada yang perbincangkan, berapa kekuatan listrik yang masuk ke pusat distribusi milik PLN di Sambaliung. Dibandingkan dengan pemakaian listrik ketika beban puncak berlangsung. Jawabannya defisit.

Defisit karena pasokan yang diterima lebih sedikit dengan beban listrik yang disalurkan. Kalau pasokan hanya 21 Mega Watt, sedangkan beban puncak 26 Mega Watt. Selisih itulah defisitnya.

Saya lalu berpikir. Ada dua pembangkit di PLTU masuk kategori generasi pertama. Walaupun hitungannya 2x7 MW, mesin itu tidak sanggup lagi memproduksi 14 MW. Ditambah 1x7 MW juga, tetap pasokannya tidak sebanyak yang diperlukan.

PLTU juga memakai sendiri. Dalam perjalanan ke Sambaliung, juga ada setrum yang terbuang. Tidak tahu, berapa persen yang terbuang dalam perjalanannya.

Lupakanlah sejenak. Walaupun masih ada 1x7 MW PLTU di Teluk Bayur. Generasi pertama yang ada di Lati, sudah masuk kelompok mesin ‘tuha’. Tidak bisa lagi di gas pol, untuk menghasilkan 14 MW. Namanya mesin tuha, harus dijaga ‘perasaannya’.

Kalau dua mesin tuha itu ‘ngambek’. Dampaknya akan terasa pada ribuan pelanggan PLN. Juga dampaknya ke rumah saya, yang sangat bergantung dengan listrik. Terhenti beberapa jam, ratusan ikan Koi saya terancam jiwanya.

Halaman:

Editor: uki-Berau Post

Tags

Rekomendasi

Terkini

Stadion Batakan Segera Dilengkapi Lapangan Latihan

Selasa, 23 April 2024 | 13:22 WIB

BPKAD Proses Hibah Lahan Perum Bumi Sempaja

Selasa, 23 April 2024 | 10:00 WIB

SIC Bersedia Biayai Waterfront City

Selasa, 23 April 2024 | 08:30 WIB

Lima SPBU di Kutai Barat Wajibkan QR Barcode

Senin, 22 April 2024 | 20:00 WIB

SIC Bersedia Biayai Waterfront City

Senin, 22 April 2024 | 16:00 WIB

Pemilik Rumah dan Ruko di Paser Diimbau Punya Apar

Senin, 22 April 2024 | 12:30 WIB
X