Harga Batu Bara Anjlok, Roda Pemerintahan Melambat

- Jumat, 18 Oktober 2019 | 13:06 WIB

Tanjung Redeb - Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Berau sempat tertatih-tatih sepanjang 2015-2017. Baru di tahun 2018 lalu, APBD Berau kembali disebut normal setelah kembali ke angka di atas Rp 2 triliun.

Selama tiga tahun tertatih, roda pemerintahan sempat berjalan pelan. Pembangunan yang sebelumnya masif dilakukan, terpaksa harus direm pelan-pelan. Sebab, APBD yang berkisar di atas Rp 1 triliun, sekitar Rp 900 miliar sudah dialokasikan untuk gaji seluruh aparatur sipil negara (ASN) dalam satu tahun. Sisanya baru digunakan untuk pembangunan yang sifatnya sangat prioritas.

Defisit APBD kala itu, disebut Bupati Berau Muharram, salah satu faktornya karena anjloknya harga batu bara. Sehingga perusahaan-perusahaan tambang batu bara di Berau menurunkan jumlah produksinya. Imbasnya, royalti yang disetor ke pemerintah pusat juga berkurang, sehingga dana bagi hasil (DBH) yang ditransfer pusat ke daerah, ikut mengalami penurunan. Padahal DBH dari sektor mineral batu bara (minerba), jadi salah satu komponen pendapatan yang besar dalam struktur APBD Berau.

‘Awan mendung’ selama tiga tahun anggaran tersebut, nampaknya mulai terlihat lagi. Sepanjang tahun 2019, harga acuan batu bara dunia kembali turun. Dari normalnya di atas 80 hingga 90 dolar AS per metrik ton. Kini hanya berkisar 65 dolar AS per metrik ton.

Bahkan Muharram sudah menyebut, DBH yang diterima Berau dari pusat akan berkurang ratusan miliar tahun depan. “Ini karena memang tingkat produksi tambang batu bara yang menurun, efek dari harganya yang turun,” katanya kepada Berau Post, baru-baru ini.

Turunnya nilai emas hitam itu dijelaskannya, harus disikapi pihak perusahaan atau pemilik konsesi tambang. Dengan tak lain menekan angka produksi batu bara. Imbasnya, selain berkurangnya DBH yang diterima, pengurangan tenaga kerja juga berpotensi kembali terjadi. Begitu pun dengan pertumbuhan perekonomian Berau.

“Jika masyarakat hanya bergantung terhadap proyek pemerintah dan kegiatan pemerintah, maka akan kena imbasnya,” tuturnya.

“Tapi kalau usaha mandiri yang tidak berhubungan langsung dengan APBD, itu saya yakin tidak akan terlalu berpengaruh,” sambung Muharram.

Mengenai ancaman gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK), Muharram tak bisa memungkirinya. Karena perusahaan menurunkan produksi, dan efisiensi pun dilakukan. Pemkab Berau pun tak bisa serta-merta meminta perusahaan membatalkan rencana tersebut.

Hanya saja, ia mengimbau agar itu menjadi solusi terakhir. Atau langkah mendesak yang mau tidak mau dilakukan. “Kalau bisa lakukan solusi lain dulu sesuai ketentuan yang ada. Lakukan secara preventif dulu,” terangnya.

Yang pasti, jika DBH yang diterima menurun dan APBD Berau kembali anjlok, maka rencana pembangunan yang dicanangkan juga akan direm. Muharram menyebut akan melakukan penyesuaian dengan menekan kegiatan-kegiatan penunjukan langsung (PL) yang sifatnya non-fisik.

Lalu, perjalanan dinas pejabat juga akan ditekan. Dana alokasi kampung pun, pendistribusiannya tidak akan dilakukan sekaligus. “Gaji PNS yang biasanya penganggaran langsung 12 bulan, kita jadikan 9 bulan dulu, tiga bulan berikutnya diambil dari di APBD perubahan,” katanya.

Menurutnya, ketergantungan Berau terhadap sektor batu bara memang tak bisa dilepaskan. Ia pun menyadari kondisi tersebut dan telah berusaha mencari penggantinya. Walau tak bisa langsung diandalkan sebagai sumber pendapatan utama. Salah satunya dengan mendorong sektor pariwisata. “Tapi yang jelas tidak hanya pariwisata. Sektor perkebunan, perikanan, hingga pertanian juga punya potensi,” terangnya. (arp/udi)

Editor: uki-Berau Post

Tags

Rekomendasi

Terkini

Sembilan Ribu Anak di PPU Diberi Seragam Gratis

Kamis, 25 April 2024 | 18:00 WIB

Pemkot Balikpapan Didesak Fasilitasi Pom Mini

Kamis, 25 April 2024 | 10:00 WIB

HIMASJA Soroti Dugaan Pungli PTSL di Samboja

Rabu, 24 April 2024 | 09:37 WIB
X