Titik Nol

- Senin, 21 Oktober 2019 | 12:47 WIB

SAMPAI sekarang, saya belum tahu di mana lokasi titik nol kabupaten, berada. Saya pernah mengira-ngira, lokasinya di Strat Bundar (simpang empat Jalan Pemuda dan Jalan P Antasari).

Ada juga yang bilang, titik nol itu diambil persis di kantor bupati. Sebagian lagi menyebut titik nol itu di rumah dinas Bupati Berau di Jalan Cendana. Titik nol kilometer ini, jadi patokan jarak. Seperti di Jogja itu berada di bangunan Senisono.

Di Indonesia, titik nol berada di Pulau Weh, tepatnya di lokasi wisata Pulau Sabang. Sedangkan di Tiongkok, berada di pintu masuk taman Fengtian di jalur Jingguan.

Secara kebetulan, saya jumpa dengan Pak Oetomo Lianto yang lebih akrab dengan sebutan nama Pak Aliang. Entah keperluan apa, berada di Jalan Ahmad Yani. Tepat di tempat berjualan kain. Toko Tolaram.

Saya memang punya cerita dengan Pak Aliang soal tempat itu. Ceritanya 30 tahun silam. Di awal-awal perjuangan Pak Aliang dalam merintis usahanya. Saya dari dulu berteman. Setidaknya, tahu alur perjalanannya.

Makanya, jumpa di lokasi depan toko Tolaram, Pak Aliang banyak merenung. “Di sinilah dulu kita jualan kain ya?” kata Pak Aliang. Kenapa ia menggunakan kata ‘kita’. Ya, memang bersama saya ‘buka lapak’ di tempat itu.

Jualan diawali beberapa pekan sebelum Lebaran. Waktu itu, juga bersamaan dengan proses pembangunan konstruksi pabrik bubur kertas di Mangkajang. Karyawannya ribuan. Setiap malam, memadati Tanjung Redeb.

Pakaian yang ada di etalase di Toko Tolaram, sebagian dikeluarkan. Ditumpuk di tepi jalan. Pak Aliang yang menentukan harga jual. Saya hanya mengundang pembeli. Sementara, almarhum Pak Gufran, tukang bungkus sekaligus kasir.

Memang belum banyak pengusaha yang terjun di bisnis konveksi. Jauh hari sebelum masuk bulan puasa, Pak Aliang sudah memesan pakaian dari Jakarta. Ada juga yang dipesan dari Surabaya.

Usai salat Tarawih, sepanjang Jalan Ahmad Yani, hanya boleh bagi pejalan kaki. Jalannya sempit. Di tepi sungai, tak ada trotoar. Yang ada turap ulin. Turap ini berfungsi sebagai tempat sandar kapal asal kecamatan.

Setiap menjelang Lebaran, jalan Ahmad Yani berubah menjadi ‘pasar malam’. Di situlah kami bersama Pak Aliang menghabiskan waktu di malam hari. Jualan baju keperluan Lebaran.

Bagi Pak Aliang, di situlah ‘titik nol’ dalam merintis usahanya. Termasuk, usaha penjualan tiket pesawat Bouraq ‘Bali Air’. “Iyaa, betul.  Inilah lokasi saya memulai usaha. Tanpa itu semua, saya juga tidak bisa bangkit seperti sekarang,” kata dia.

Anak-anaknya masih kecil. Ada salah seorang dari putra Pak Aliang, namanya Cuncun. Saat itu, masih sangat kecil. Selalu dalam pengawasan. Tiga anak-anaknya yang lain, juga demikian.

Saya sendiri, bila satu meja di warung kopi Hokky, baru sadar. Ternyata saya ini sudah tidak muda. Sebab, dulu waktu ‘buka lapak’ bersama Pak Aliang, Cuncun masih kecil.  Sekarang sudah sama-sama minum kopi di warung Hokky.

Usia, yang membuat Pak Aliang tak selincah dulu lagi. Sama, saya juga tidak selincah ketika saya menemaninya jualan kain di tepi jalan. Kami berdua, sesekali mengenang masa-masa itu. Masa sulit sebetulnya.

Halaman:

Editor: uki-Berau Post

Tags

Rekomendasi

Terkini

HIMASJA Soroti Dugaan Pungli PTSL di Samboja

Rabu, 24 April 2024 | 09:37 WIB

Stadion Batakan Segera Dilengkapi Lapangan Latihan

Selasa, 23 April 2024 | 13:22 WIB

BPKAD Proses Hibah Lahan Perum Bumi Sempaja

Selasa, 23 April 2024 | 10:00 WIB

SIC Bersedia Biayai Waterfront City

Selasa, 23 April 2024 | 08:30 WIB

Lima SPBU di Kutai Barat Wajibkan QR Barcode

Senin, 22 April 2024 | 20:00 WIB

SIC Bersedia Biayai Waterfront City

Senin, 22 April 2024 | 16:00 WIB
X