Mappanre(ri)tasi

- Sabtu, 26 Oktober 2019 | 14:39 WIB

SAYA tidak punya catatan, sejak kapan acara Buang Nahas mulai dilaksanakan di Kampung Talisayan. Pasti sudah cukup lama. Kata teman saya sudah 13 tahun. Saya juga beberapa kali mengikuti acara itu. Kadang duduk di bangku depan, tapi lebih sering duduk di kursi paling belakang.

Sayang, pada acara buang nahas yang dilaksanakan beberapa hari lalu, saya tak sempat hadir. Banyak teman-teman yang mengajak. Ingin sekali rasanya. Inilah salah satu pesta adat di pesisir selatan yang banyak dikunjungi warga. Termasuk Pak Makmur yang tidak pernah absen hadir.

Seperti beberapa tahun lalu, saya juga hadir. Panitianya memberikan saya kesempatan untuk tampil. Tampil menyiramkan air pada anak-anak, yang mengenakan kain berwarna kuning dan hanya berbaju kaos dalam. Ada beberapa yang menyiramkan air selain saya. Namanya anak kecil, ada saja di antara mereka yang berbisik “aduh, dingin,” kata mereka.

Mendengar keluhan ‘dingin’ oleh anak-anak itu, saya lalu teringat salah satu pesta adat yang berlangsung di salah satu kampung di Pulau Selayar, Sulawesi Selatan. Nama kegiatannya A’Dinging-Dinging. Artinya berdingin-dingin.

Ketika acara berlangsung, seluruh warga kampung berkumpul. Acaranya digelar pada hari Senin terakhir di bulan Muharram. Pesta adatnya jadi ramai, di saat puncaknya dilakukan saling siram air. Karena tersiram air itulah, dijadikan nama kegiatannya A’Dinging-Dinging.

Makna dari A’Dinging-Dinging, kegiatan yang dilakukan untuk menolak bala dengan air yang disiram kepada seluruh warga kampung. Puncaknya, ada acara makan bersama.

Masih di Pulau Selayar, tepatnya di dusun Tulang, desa Barugaiya Kecamatan Bontomanai, ada ritual budaya yang bernama Attoana Turiere yang sampai saat ini masih terus dilaksanakan persembahan sesaji. Sesaji itu kemudian dihanyutkan ke laut.

Pesta adat ini, masuk dalam salah satu agenda wisata di Selayar yang baru saja menjadi salah satu Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Pariwisata.

Buang Nahas di Talisayan juga seperti itu. Filosofinya untuk menolak bala.

Sama dengan prosesi pesta adat lainnya, maknanya tak jauh berbeda. Bila kemasannya bagus dan menarik, bisa menjadi salah satu paket wisata. Buang nahas di Talisayan, jadwalnya sudah tetap setiap tahunnya. Tinggal dipromosikan saja bahwa ada kearifan lokal daerah yang menarik untuk ditonton.

Memang perlu menyelisik setiap proses yang berlangsung. Selama berlangsungnya kegiatan, juga ada di tengah-tengah undangan dari Kantor Urusan Agama (KUA). Ia menyebutkan, apa yang berlangsung pada prosesi Buang Naas sebetulnya, tak ada yang perlu dipermasalahkan. Tak ada yang perlu diperdebatkan. Jadi persoalannya Clear.

Semua berlangsung baik. Hanya ada proses memandikan anak-anak yang diiringi doa memohon kebaikan dan dijauhkan dari mara bahaya. Buang nahas adalah sebuah tradisi budaya yang sudah berlangsung sejak 13 tahun silam.

Ada satu lagi pesta adat yang cukup menarik perhatian. Pelaksanaannya digelar setiap bulan April. Nelayan pantai Pegatan,  Kabupaten Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan. Pesta adat ini sudah sangat terkenal. Bahkan masuk dalam agenda pariwisata nasional.

Yang hadir pada setiap perhelatan juga lengkap. Semua unsur masyarakat menjadi satu di pantai Pagatan.

Namanya  Mappanretasi. Dari nama ini, jelas artinya memberikan makan laut. Oleh Bupati Tanah Bumbu, Mardani Haji Maming menambah kata ‘ri’ di antara Mappanre – Tasi. Artinya pun menjadi lebih berkembang, yakni makan di atas laut.

Halaman:

Editor: uki-Berau Post

Tags

Rekomendasi

Terkini

X