Sakura dalam Pelukan

- Senin, 4 November 2019 | 19:12 WIB

   “JANGAN lupa kunjungi Ginza.”

Itu pesan teman saya sebelum berangkat ke Jepang.

Kawasan pertokoan yang ramai. Apalagi di akhir pekan. Kawasan yang awalnya sepi, tiba-tiba dipenuhi banyak manusia. Entah darimana saja datangnya.

Musim dingin, sebentar lagi berlalu. Sejuknya masih terasa. Masih harus menggunakan pakaian tebal. Salju tidak terlihat lagi, kecuali di puncak Gunung Fujiyama. Dari kejauhan selalu terlihat warna putih. Cantik sekali.

Saya selalu ingat pesan teman. Jangan lupa ke Ginza. Saya mau belanja apa. Sudah saya bayangkan. Berbelanja di Senayan City atau Plaza Indonesia saja tidak sanggup. Apalagi berbelanja di pusat pertokon yang jualannya barang bermerek. Mahal pula.

Tapi, saya tetap akan mencari waktu lowong, untuk bisa mengunjungi. Setidaknya, memenuhi pesan teman saya. Saya bisanya membeli barang yang dijual di trotoar saja. Pasti harganya miring.

Waktu itu, masih menekuni kegiatan photography. Dan, ada merek yang menjadi standar pegangan kamera. Mereknya Nikon. Saya punya Nikon FM2. Kamera yang katanya digunakan astronot Neil Amstrong, waktu mendarat di bulan.

Siapa tahu, ada yang jual lensa bekas di sepanjang trotoar di Ginza. Ini yang saya cari.

Saat jalan masih sepi di Ginza, saya sempat melihat penjual kamera dari seberang jalan. Terlihat jelas tulisan ‘Nikon’. Dalam hati, nantilah saya nyeberang jalan. Belanja lensa kamera. Persediaan uang Jepang (Yen), cukuplah.

Saya masuk dulu sebentar ke toko buku. Tak jauh dari tempat saya berdiri. Di pojok jalan Ginza. Gayanya saja membuka-buka buku. Semua tulisan Jepang (Kanji). Mencermati gambarnya saja. Hanya sebentar.

Saya keluar lagi, bermaksud mendatangi toko emperan yang menjual lensa kamera. Yang terlihat di seberang jalan.

Terkejut luar biasa. Jalan yang luas dan berbagai penjuru sudah penuh. Semua berjalan cepat. Kebanyakan masih mengenakan pakaian kantor. Baju putih dengan jas hitam. Tak ada yang jalan santai. Cepat sekali jalannya.

Sudah saya bayangkan. Kalau menyeberang jalan, mendatangi penjual lensa itu, jangan-jangan saya tidak bisa kembali. Manusia begitu banyaknya.

Takutnya tidak ketolongan. Kalau saya sesat, tentu jadi urusan. Saya lupa minta kartu nama hotel di mana saya menginap.

Senyum sendiri di pinggir jalan. Mau menunggu kapan manusianya berkurang, seberapa lama saya harus berdiri. Jangankan di Jepang, di kota saya saja, sudah tak berani nyeberang jalan sembarangan. Apalagi malam hari di sepanjang Jalan Pemuda atau Jalan Pulau Sambit.

Halaman:

Editor: uki-Berau Post

Tags

Rekomendasi

Terkini

HIMASJA Soroti Dugaan Pungli PTSL di Samboja

Rabu, 24 April 2024 | 09:37 WIB

Stadion Batakan Segera Dilengkapi Lapangan Latihan

Selasa, 23 April 2024 | 13:22 WIB

BPKAD Proses Hibah Lahan Perum Bumi Sempaja

Selasa, 23 April 2024 | 10:00 WIB

SIC Bersedia Biayai Waterfront City

Selasa, 23 April 2024 | 08:30 WIB

Lima SPBU di Kutai Barat Wajibkan QR Barcode

Senin, 22 April 2024 | 20:00 WIB
X