Bahaya Nyata Pariwisata Magnet Penarik Devisa

- Selasa, 14 Januari 2020 | 15:33 WIB
Rahmi Surainah, M.Pd
Rahmi Surainah, M.Pd

SEKTOR pariwisata di Indonesia dianggap sangat potensial untuk menjadi kunci dan solusi dalam menghadapi dampak ekonomi akibat perang dagang yang memanas antara Amerika Serikat dan China.

Hal ini dikemukakan oleh Staf Ahli Menteri PPN Bidang Sinergi Ekonomi dan Pembiayaan Amalia Adininggar Widya. Dia mengatakan di tengah kondisi ekonomi global yang tidak menentu, sektor pariwisata dapat menjadi kunci pertumbuhan ekonomi suatu negara.

Amelia menjelaskan kalau salah satu jalan pintas yang bisa digunakan untuk menyelamatkan devisa negara adalah lewat sektor pariwisata. Namun yang mesti mendapat perhatian pemerintah dan para stakeholder adalah bukan tentang seberapa banyak jumlah wisatawan yang berkunjung ke Indonesia, tapi seberapa besar uang yang masuk dari sektor ini. (http://www.monitorday.com/melalui-sektor-pariwisata-indonesia-mampu-hadapi-dampak-perang-dagang-as-china)

Di sisi lain adanya pariwisata yang diharapkan menghibur justru menimbulkan bahaya. Seperti yang terjadi di Kabupaten Sumedang, puluhan penari dari 5.555 peserta pada event Tari Umbul Kolosal di Waduk Jatigede jatuh pingsan dan beberapa di antaranya mengalami kesurupan pada akhir tahun lalu. (31/12/2019). (https://kabar-priangan.com/puluhan-penari-pingsan-dan-kesurupan-saat-even-tari-umbul-kolosal-di-waduk-jatigede/)

Di daerah lain, Tanjung Redeb tradisi sekaligus ajang pariwisata yakni Buang Nahas membuat warga berpolemik dengan camat. Camat berkeyakinan Tradisi Buang Nahas dianggap tak sesuai dengan akidah dalam Islam. Camat tidak memberikan restu dan tidak bersedia menghadiri acara adat masyarakat pesisir Berau tersebut. Namun, walau tanpa dukungan dari camat dan Dinas Kebudayaan Pariwisata Berau, masyarakat tetap melaksanakan acara adat tersebut. (https://berau.prokal.co/read/news/62298-camat-tinggalkan-warga-talisayan.html)

Demikian sedikit fakta yang terjadi tentang pariwisata. Pariwisata memang sering diwarnai dengan berbagai kejadian aneh dan unik. Seperti tarian Umbul Kolosal yang berjumlah 5.555 peserta, banyaknya peserta membuat tarian tersebut unik. Belum lagi ada kesurupan tentu ini membuat aneh dan mistis.

Selain itu, pariwisata tidak sedikit menimbulkan bahaya berupa kemaksiatan, syirik, dan kematian. Adat, budaya dan kearifan lokal perannya pun sudah bertambah menjadi objek wisata penghasil devisa.

Sulit dipisahkan adat dari masyarakat itu sendiri jika terjadi pertentangan, kecuali ada sikap tegas dari tokoh dan pemuka agama bahwa adat harus tunduk dengan syariat bukan menarik manfaat. Karena masyarakat menilai adat sebagai turun temurun dari satu generasi ke generasi, ditambah ada nilai Islamnya sehingga dianggap tidak bertentangan dengan agama.

Selain adat dijadikan objek pariwisata, ada lagi yang berpendapat pariwisata menjadi kunci dan solusi dalam menghadapi dampak ekonomi akibat perang dagang AS dan China.

Ungkapan tersebut berlebihan karena bisa menyesatkan publik karena akan menjadikan Indonesia fokus dengan pembangunan non strategis lupa dengan Indonesia punya kekayaan Sumber Daya Alam (SDA) yang strategis.

Jika SDA dikelola termasuk bidang lain yang strategis seperti pertanian, perkebunan, perikanan, kehutanan, dan lain-lain tentu lebih berdaya dari pada sektor pariwisata.

Indonesia dan berbagai daerah disibukkan menggenjot pariwisata dengan terus berupaya melibatkan semua sektor untuk menunjang aspek pariwisata. Padahal, sibuknya pemerintah menggenjot pemasukan devisa lewat pariwisata melupakan eksploitasi SDA oleh pihak lain. Andai diambil alih atau dikelola sendiri tentu lebih strategis dalam menambah devisa.

Dengan demikian, di balik pariwisata yang kini dijadikan sebagai magnet penarik devisa sebenarnya menimbulkan bahaya nyata dilihat dari beberapa hal. Pertama, merusak aqidah melalui pelestarian adat mistik dan syirik. Kedua, kebijakan menyesatkan yang mengelabui rakyat bahwa mereka harus mengambil receh-receh pemasukan dari pariwisata untuk ekonomi mereka, padahal untuk usaha-usaha besar tetap dikuasai para kapitalis. Ketiga, jalan mulus liberalisasi budaya dan agama. Keempat, penjajah asing dibiarkan bebas menguasai SDA strategis yang melimpah di negeri ini. 

Dari analisis tersebut, sungguh sesuatu yang absurd rakyat akan sejahtera dengan berharap pariwisata sebagai jawaban lemahnya perekonomian di Indonesia. Hal ini karena lebih banyaknya bahaya nyata akibat pariwisata dibanding manfaat yang di dapat dari devisa. Terutama bahaya liberalisme yang akan semakin bablas seiring digalakkannya sektor pariwisata.

Halaman:

Editor: uki-Berau Post

Tags

Rekomendasi

Terkini

HIMASJA Soroti Dugaan Pungli PTSL di Samboja

Rabu, 24 April 2024 | 09:37 WIB

Stadion Batakan Segera Dilengkapi Lapangan Latihan

Selasa, 23 April 2024 | 13:22 WIB

BPKAD Proses Hibah Lahan Perum Bumi Sempaja

Selasa, 23 April 2024 | 10:00 WIB

SIC Bersedia Biayai Waterfront City

Selasa, 23 April 2024 | 08:30 WIB

Lima SPBU di Kutai Barat Wajibkan QR Barcode

Senin, 22 April 2024 | 20:00 WIB
X