Bangkit dari Keterpurukan dengan Usaha Jahit Masker

- Kamis, 7 Mei 2020 | 15:37 WIB
MENGIKUTI KONDISI: Ronald Sihotang alias Mememt, party planner yang kini menggeluti usaha menjahit masker kain.
MENGIKUTI KONDISI: Ronald Sihotang alias Mememt, party planner yang kini menggeluti usaha menjahit masker kain.

Pandemi Covid-19 atau virus corona saat ini memaksa hampir semua orang untuk berputar haluan. Ada yang banting setir dari usaha semula. Ada juga yang hanya pasrah menunggu pandemi ini berakhir.

 

Marta, Tanjung Redeb

 

Ronald Sihotang merintis karier sebagai seorang party planner sekaligus designer sejak 2013. Dengan keahliannya merancang berbagai jenis baju, gaun maupun seragam, Memet -sapaan akrabnya- dibantu ibunya, Nunung, terjun ke dunia usaha jahit menjahit.

Pelanggan mereka sudah banyak. Karena terkenal dengan kualitas rancangan dan jahitannya yang baik. Pesanan seragam sekolah, seragam perpisahan kelulusan atau wisuda, tiap tahun dia terima. 

Namun ada yang berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Seperti nasib tak berpihak padanya. Tahun ini pesanan seragam maupun baju pesta nihil. Bukan karena kualitas rancangan dan jahitan yang tidak lagi memuaskan pelanggan, tapi karena dampak dari pandemi virus corona atau Covid-19 di Bumi Batiwakkal. Karena pandemi corona, membuat pelanggan berpikir untuk memesan baju seragam maupun baju Lebaran.

Setiap tahun menjelang Ramadan, biasanya Memet menerima banyak permintaan rancangan baju Lebaran. Tapi tahun ini, tidak ada sama sekali. Hal itu berpengaruh pada pemasukannya yang selama ini dia andalkan dari pekerjaan tersebut.

"Usaha kami jatuh banget. Pesanan baju perpisahan dan baju Lebaran semua pada batal. Benar-benar mati usaha kami. Harus ‘putar otak’ supaya tetap ada pemasukan," ujar Memet, saat berbincang-bincang dengan Berau Post, Rabu (6/5).

Memet tidak mau berdiam diri dan pasrah pada keadaan. Kini dia bersama beberapa rekan seprofesi memanfaatkan keadaan dengan beralih usaha menjadi penjahit masker. 

Setiap hari, dia dan 8 orang penjahit lainnya memproduksi masker handmade. Masker itu kemudian dipasarkan melalui sosial media dengan harga Rp 5.000 per lembar. Dari keuntungan berjualan masker, dia bersama teman-teman penjahit yang juga terdampak mencoba bertahan. 

Tapi ia juga bingung jika beberapa bulan ke depan kondisi masih terus dihantui pandemi. “Sekarang sudah ada 2.200 buah masker yang kami produksi. Saya jual di sosial media. Keuntungannya kita bagi-bagi. Paling dari satu masker kita untung Rp 2.000 saja. Untuk sekarang masih bisa bertahan, tapi kalau kondisi seperti ini terus-menerus sampai beberapa bulan ke depan, saya juga bingung mau seperti apa selanjutnya," curhat pria yang juga menjadi pelatih tari ini.

Meski mengaku terdampak dengan hadirnya pandemi, tapi Memet masih bersyukur karena mampu menggunakan sosial media sebagai alat pemasukan baginya. Beberapa pedagang terkadang meminta dirinya untuk mempromosikan produk mereka di sosial media. Dan Memet mengucap syukur atas kesempatan itu. Yang mengganggu pikirannya saat ini adalah para pedagang kecil yang tidak mengerti menggunakan sosial media. Memet mengaku sedih jika melihat teman ataupun kenalannya yang harus susah payah karena pandemi saat ini.

"Kalau saya masih bersyukur. Meski terdampak, tapi saya masih bisa tercukupi dengan berhemat. Yang saya sedih mereka yang tidak tahu menggunakan sosial media, bagaimana nasib mereka? Saya kasihan mereka kadang tersingkirkan dengan yang mampu menguasai sosial media sebagai sarananya berjualan,” katanya.

Halaman:

Editor: uki-Berau Post

Tags

Rekomendasi

Terkini

Camat Samboja Barat Tepis Isu Dugaan Pungli PTSL

Kamis, 25 April 2024 | 18:44 WIB

Sembilan Ribu Anak di PPU Diberi Seragam Gratis

Kamis, 25 April 2024 | 18:00 WIB

Pemkot Balikpapan Didesak Fasilitasi Pom Mini

Kamis, 25 April 2024 | 10:00 WIB

HIMASJA Soroti Dugaan Pungli PTSL di Samboja

Rabu, 24 April 2024 | 09:37 WIB
X