Tidak selamanya seorang relawan selalu mendapat apresiasi yang baik dari masyarakat. Ada juga yang terkadang memandang rendah dan sinis terhadap para pekerja kemanusiaan ini. Meski begitu, tidak menjadi alasan untuk berhenti berbuat kebaikan.
Marta, Tanjung Redeb
Jufita Putriani, perempuan kelahiran Jambi, 30 Juni 1996, secara tidak sengaja terjun menjadi relawan Palang Merah Indonesia (PMI). Berawal dari rutin mendonorkan darah di markas PMI Berau, dirinya mengenal apa itu relawan sesungguhnya.
Puput, sapaan akrabnya, semula mengira relawan hanyalah sebatas menolong orang-orang yang butuh pertolongan, baik pada kecelakaan atau bencana alam. Setelah mencermati kegiatan yang dilakukan teman-teman relawan sebelum dia ikut bergabung, Puput baru menyadari bahwa relawan lebih dari sekadar menolong orang. Menjadi relawan dapat sekaligus menebar inspirasi, kebaikan dan bahkan bertukar emosi dan perasaan. Lebih jauh, Puput mengartikan menjadi relawan sebagai salah satu sarana beribadah kepada Tuhan.
Kata Puput, untuk menjadi relawan harus berangkat dari dalam hati yang paling tulus, agar tidak mudah menyerah atau putus asa tatkala pengorbanan yang dilakukan justru mendapat nyinyiran dari sebagian orang.
Seperti pengalaman yang dia rasakan ketika pandemi Covid-19 muncul pertama kali di Bumi Batiwakkal. Sebagai relawan, kala virus corona mulai menghantui warga, Puput dan puluhan relawan lainnya dengan sigap turun lapangan. Salah satu kegiatan yang dilakukannya bersama relawan PMI Berau kala itu adalah membagikan cairan disinfektan kepada masyarakat. Namun niat baik tak selalu disambut baik. Di tengah kegiatan, ada kesalahan teknis yang luput dari tim relawan.
“Namanya juga manusia, pasti tidak luput dari kesalahan. Tapi niat baik yang kita lakukan benar-benar tidak dipandang waktu itu. Justru yang dipandang cuma kesalahannya saja. Sedih banget waktu itu, sempat bawa perasaan banget. Belum lagi terima komentar-komentar pedas dari netizen, benar-benar waktu itu sempat marah, kesal dan pengin banget balas komentar-komentar jahat mereka,” kisah Lulusan Madrasah Aliyah Negeri tahun 2014 lalu.
Sejak kejadian itu, Puput bertekad menjadi relawan yang bukan hanya sekadar menolong orang lain, namun juga menolong diri sendiri dari rasa ingin menyerah. Kini, baginya menjadi relawan harus bisa lebih kuat baik fisik maupun hati, batin dan pikiran.
“Makanya sekarang harus lebih kuatin hati dan pikiran. Supaya tidak mudah menyerah dan putus asa saat mendapat nyinyiran. Dijamin tidak akan kuat jadi relawan kalau hatinya mellow," ucap Puput sambil tertawa.
Kini dia ditugaskan di Posko Pasar Sanggam Adji Dilayas (SAD). Di sini banyak memberikan pengalaman baru. Puput menilai saat ini masih cukup banyak warga yang acuh dengan protokol kesehatan. Seperti menggunakan masker yang masih dianggap sepele. Sembari mengingatkan warga yang masih 'ngeyel', Puput terus berupaya menjadi relawan yang tangguh menghadapi bermacam-macam watak orang yang dia temui.
"Orang kan berbeda-beda ya. Ada yang kalau ditegur dan diingatkan, menerima dengan baik. Ada juga yang ditegur malah marah atau sinis sama kita, itu banyak. Padahal semua demi mereka juga. Kami sebagai relawan hanya menjalankan tugas kemanusiaan," tutupnya. (*/har)