Korban Patah Tulang Hanya Disantuni Rp 500 Ribu

- Kamis, 18 Juni 2020 | 19:43 WIB
BELUM DIRUJUK: Risno Amrin harus lebih lama dirawat di RSUD dr Abdul Rivai karena tak punya biaya untuk mengoperasi tulang bahunya yang patah di salah satu rumah sakit di Samarinda.
BELUM DIRUJUK: Risno Amrin harus lebih lama dirawat di RSUD dr Abdul Rivai karena tak punya biaya untuk mengoperasi tulang bahunya yang patah di salah satu rumah sakit di Samarinda.

TANJUNG REDEB – Kecelakaan lalu lintas di Jalan Sultan Agung Tanjung Redeb pada 12 Juni lalu, berbuntut panjang. Pasalnya, pengendara roda dua yang mengalami kecelakaan, mengalami patah tulang di tangan dan kaki bagian kiri, serta tulang bahu. Bukan sekadar mengalami patah tulang, pengendara bernama Risno Amrin tersebut, juga harus menanggung biaya pengobatan untuk mengoperasi bagian tubuhnya yang patah tulang.

Insiden kecelakaan antara kendaraan roda dua dan roda empat tersebut, memang sudah melalui mediasi pihak kepolisian. Kedua belah pihak, awalnya sudah menandatangani surat kesepakatan damai, sehingga insiden kecelakaan diselesaikan secara kekeluargaan. Namun, Burhanuddin yang menjadi kuasa hukum Risno Amrin, menyebut surat damai yang ditandatangani kedua pihak sebelumnya, cacat hukum.

Burhanuddin pun telah mengembalikan surat perdamaian tersebut kepada pihak kepolisian, Selasa (16/6) lalu. Dirinya meminta pihak kepolisian untuk mempertemukan kembali kedua belah pihak, untuk berunding ulang terkait perdamaian dalam kasus kecelakaan lalu lintas tersebut.

“Kenapa harus diulang, karena surat perdamaiannya cacat hukum. Batal secara hukum,” katanya kepada Berau Post kemarin (17/6).

Cacat hukum yang dimaksudnya, karena dalam surat perdamaian tersebut, kecelakaan lalu lintas disebutkan terjadi pada tanggal 16 Juni. Sementara kejadian sebenarnya pada tanggal 12 Juni. Yang anehnya lagi, penandatanganan perdamaian tersebut dilakukan pada tanggal 15 Juni. “Artinya, berdamai dulu baru kecelakaannya,” katanya.

Selain itu, dalam surat perdamaian, Risno yang diwakili iparnya Hamka, disebut sebagai pihak kedua yang menjadi pengendara roda empat. Padahal, Risno adalah pengendara roda dua yang mengalami luka berat hingga patah tulang.

Kejanggalan lainnya, dalam surat perdamaian itu, Risno hanya disebut mengalami luka dan dirawat di RSUD dr Abdul Rivai, sehingga pengendara roda empat hanya memberikan santunan sebesar Rp 500 ribu, sebagai biaya ganti perawatan. “Ini yang sebenarnya paling kami sayangkan. Terlepas dari korban ini siapa, harusnya kita melihat secara kemanusiaan lah. Masa orang patah tiga hanya diberi santunan Rp 500 ribu. Karena dari pihak polisi juga bilang lukanya lecet-lecet saja. Kasihan korban, dia tidak punya biaya untuk pengobatannya, karena harus dirujuk ke rumah sakit di Samarinda,” jelasnya.

Lanjut Burhanuddin, pihak RSUD dr Abdul Rivai hanya bisa menangani luka patah tulang terbuka di bagian kaki dan tangan kiri korban saja. Sementara patah tulang bahu yang tertutup, tidak bisa ditangani karena keterbatasan alat di RSUD. Sehingga, korban harus dirujuk ke Samarinda. “Tapi sejak tanggal 12 Juni korban dirawat di RSUD, sampai sekarang belum bisa ke Samarinda. Karena korban memang tidak punya biaya. Kasihan, bisa terlantar anak orang di rumah sakit karena tidak bisa dirujuk ke Samarinda,” ungkapnya.

Dia menduga, perjanjian damai yang ditandatangani kedua belah pihak, mengandung unsur paksaan. Sebab, korban yang menandatangani perjanjian damai tersebut adalah ipar korban yang disebut dalam perjanjian tersebut sebagai adik korban. Padahal korban mengaku masih memiliki kakak kandung yang lebih berhak untuk mewakili korban. “Makanya perjanjian damainya seperti dipaksakan. Sehingga kami kembalikan dan minta polisi memanggil kedua pihak lagi untuk memediasi,” terangnya.

Dia berharap, pihak kepolisian bisa proaktif untuk mengundang kedua pihak untuk melakukan mediasi ulang. “Masa karena kesalahan dalam surat perjanjian damai yang dibikin polisi, tapi kami yang disuruh ke sana (pihak pengendara roda empat) meminta perbaikannya. Itu kewajibannya polisi,” terangnya.

Dikonfirmasi, Kepala Unit (Kanit) Laka Satlantas Polres Berau Ipda Marullah Irawadi menjelaskan jika kesalahan dalam surat perjanjian tersebut, hanyalah persoalan kesalahan pengetikan. Namun dijelaskannya, saat kejadian korban tidak diketahui identitasnya. Namun saat ditelusuri, korban diketahui memiliki keluarga bernama Hamka. Sehingga Hamka yang diminta mewakili korban untuk menandatangani surat perjanjian damai tersebut. “Tidak ada yang menekan kesepakatan tersebut,” katanya.

Mengenai kondisi korban yang patah tulang juga dibenarkannya. Namun karena ada kesalahan pengetikan, maka yang tertera dalam surat perjanjian hanya mengalami luka. Namun dirinya menyebut pihaknya hanya memediasi kedua pihak. Terkait kesepakatan, dikembalikan kepada kedua belah pihak. “Sebetulnya sudah pula kami sampaikan ke pihak sopir. Sopir ini kan hanya bak sampah, itupun ikut sama orang. Kita mau menekan nggak mungkin,” bebernya.

Mengenai pantas tidaknya uang santunan Rp 500 ribu yang diberikan kepada korban, Marullah mengaku hanya memfasilitasi. Karena dalam kecelakaan lalu lintas tersebut, korban dianggapnya salah karena tidak memiliki Surat Izin Mengemudi (SIM).

“Sebenarnya sudah saya sampaikan (kepada pengendara roda empat), bantulah. Masa segitu (Rp 500 ribu). Tetapi pihak satu ini juga katakan di dompetnya cuma itu (Rp 500 ribu) dan mobilnya juga rusak, gaji dipotong. Hamkanya sendiri tidak bisa juga menekan,” ujarnya.

Halaman:

Editor: uki-Berau Post

Tags

Rekomendasi

Terkini

Penerimaan Polri Ada Jalur Kompetensi

Jumat, 19 April 2024 | 14:00 WIB

Warga Balikpapan Diimbau Waspada DBD

Jumat, 19 April 2024 | 13:30 WIB

Kubar Mulai Terapkan QR Code pada Pembelian BBM

Jumat, 19 April 2024 | 13:00 WIB

Jatah Perbaikan Jalan Belum Jelas

Jumat, 19 April 2024 | 12:30 WIB

Manajemen Mal Dianggap Abaikan Keselamatan

Jumat, 19 April 2024 | 08:25 WIB

Korban Diseruduk Mobil Meninggal Dunia

Jumat, 19 April 2024 | 08:24 WIB

Mulai Sesak..!! 60 Ribu Pendatang Serbu Balikpapan

Jumat, 19 April 2024 | 08:19 WIB
X