Menurutnya, dalam hal ini pengadilan itu tugasnya sebenarnya menerima, memeriksa, dan mengadili perkara. Jadi sifatnya represif. Tapi dengan sifat represif, pengadilan berharap itu menimbulkan efek jera terhadap pelaku atau oknum yang terlibat tindak pidana.
“Jadi pengadilan berharap dengan vonis yang dijatuhkan pengadilan itu bisa memunculkan rasa keadilan di masyarakat secara umum, juga memberikan efek jera secara umum maupun secara khusus. Artinya bagi pelaku secara pribadi maupun bagi masyarakat secara umum,” tegasnya.
Diketahui, oknum yang terlibat perkara kehutanan khususnya kawasan budidaya kehutanan (KBK), bisa diganjar hukuman pidana selama 10 tahun. Hal itu dikatakan Kepala Seksi Pidana Umum (Kasi Pidum) Kejari Berau, Danang Loksono Wibowo, melalui Jaksa Penuntut Umum (JPU) Dany.
Dikatakannya, sesuai Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, pelaku dijatuhi hukuman pidana paling singkat selama 1 tahun dan paling lama 10 tahun penjara. “Itu ketentuan Undang-Undang yang berlaku bagi pelaku atau oknum yang terlibat atas perkara penggarapan KBK,” ujarnya, saat ditemui di ruang kerjanya, kemarin (22/6).
“Kalau rata-rata tuntutannya dan putusan itu balik lagi sama perkaranya. Terbukti pasal berapa itulah ganjaran hukuman bagi pelaku,” lanjutnya.
Menurut Dany, sesuai undang-undang jelas tindakan pidana ini tidak diperbolehkan. Tanah negara atau apapun itu tidak boleh pengelolaannya sepihak, apalagi izinnya melalui kepala kampung. “Seharusnya dari kementrian terkait. Dalam hal ini kapasitas kepala kampung itu tidak ada, kecuali APL (Areal Penggunaan Lain). Itupun harus pemanfaatan persetujuan dari pemda,” tegasnya.