Rumah Bola, Steinkollen, hingga Gado-Gado Teluk Bayur

- Selasa, 28 Juli 2020 | 20:18 WIB
MENGENANG MASA REMAJA: Seri Marawiah bersantai sejenak di lapangan sepak bola Teluk Bayur.
MENGENANG MASA REMAJA: Seri Marawiah bersantai sejenak di lapangan sepak bola Teluk Bayur.

HARUSNYA Teluk Bayur yang jadi ibu kota Berau. Bukan Tanjung Redeb. Apa alasannya sampai ada pernyataan demikian?

Sederhana saja, bahwa Teluk Bayur lebih dulu punya infrastruktur yang lengkap. Itu karena kesibukan pertambangan batu bara oleh perusahaan Belanda  pada tahun 1912. Ada tulisan pada Landmark di bagian barat lapangan bola ‘Steinkollen 1912’.

Bayangkan, Teluk Bayur yang penduduknya hanya sedikit, hasil tambangnya mampu menembus hingga ke negeri Belanda. Untungnya saat itu, perusahaan penambangan melakukan kegiatan tambang tertutup. Tidak seperti penggalian sekarang, yang menjadikan lahan sebagai lubang yang menganga.

Berbagai fasilitas dibangun, untuk dinikmati para pekerjanya. Juga bagi masyarakat Teluk Bayur. Di saat layanan listrik Tanjung Redeb yang belum baik, Teluk Bayur sudah terang benderang. Di saat sepak bola di Tanjung Redeb belum maju, di lapangan bola Teluk Bayur, klub besar Belanda Ajax Amsterdam bisa merumput di sana. Begitupun dengan fasilitas air bersihnya. Banyak nilai lebih yang dimiliki Teluk Bayur yang hanya berjarak sekitar 8 kilometer dari Tanjung Redeb.

Bukti kehadiran sebuah perusahaan Belanda yang ramah lingkungan, bisa disaksikan hingga sekarang. Walaupun sebagian sudah rusak, hilang, dan bahkan telah berubah bentuk. Begitupun nama perkampungan dan nama jalan yang diabadikan oleh masyarakat.

Di tempat berbukit yang pemandangannya ke arah Sungai Segah, di situ masih ada bangunan yang namanya rumah bola. Di tempat inilah, karyawan dari manajemen Steinkollen menikmati akhir pekan. Konstruksi bangunan yang kuat dan desain yang tidak tertelan oleh waktu. Pernah ada rencana dijadikan Museum Batu Bara, tapi sepertinya tidak jadi.

Generasi pertama karyawan perusahaan yang didatangkan dari Jawa, masih tersisa beberapa orang lagi. Merekalah yang menjadi saksi perjalanan bagaimana Teluk Bayur tempo dulu. Dan sekarang diusulkan menjadi ‘kota tua’. Tersisa, para anak dan cucu pekerja tambang di perusahaan Steinkollen Matschappy Parapattan (SMP).

Dari sisa generasi itulah, menghadirkan makanan khas asal Jawa. Teluk Bayur dikenal sebagai kampung dengan komunitas asal Jawa. Sekarang sudah heterogen. Ada yang namanya Cenil, juga ada warung Gado-Gado yang menurut kisahnya, dikelola turun-temurun. Gado-Gado yang jarang ditemukan di tempat lain, dengan ‘topping’ seekor udang galah goreng berukuran besar. Sedap nian.

Di tempat-tempat inilah, seorang bernama Seri Marawiah sering bermain ketika masih remaja. “Kami sering bermain di lapangan bola ini,” kata Seri Marawiah, bertempat tinggal tak jauh dari lapangan bola tersebut.

Juga bermain di rumah bola, setiap istirahat saat masih sekolah di SMP yang lokasinya berdekatan dengan rumah bola itu. Pada jam istirahat, bermain sambil menikmati pemandangan Sungai Segah dari ketinggian. Dari jauh, terlihat jejeran rumah di Kampung Tasuk.

Lalu, ke mana lagi seorang gadis remaja yang bisa dikenang di Teluk Bayur. Tak lain adalah penjual Gado-Gado. Ada dua lokasi, yang di tepi jalan berdekatan dengan Bank Kaltimtara sekarang, juga yang mengarah ke tepi sungai, tak jauh dari pasar Teluk Bayur. Satu kenangan yang sangat menyenangkan.

Ketika kembali ke Teluk Bayur, ke rumah orangtuanya, dua hari lalu. Ia menyaksikan lapangan bola yang sudah dipercantik, menjadi Landmark Teluk Bayur. Desain yang kekinian, dengan beberapa sudut tematik di sekitar lapangan. “Hebat yang punya ide,” kata dia. Ada desain kepala lokomotif yang menyerupai lokomotif pengangkut batu bara.

Beberapa pohon besar yang mengelilingi lapangan, masih tegak berdiri. Itupun telah mengalami pemangkasan karena dikhawatirkan tumbang. Usianya puluhan tahun. Mungkin seusia dengan lapangan bola. Ini yang membuat lapangan menjadi rindang. Kursi taman di sekitar lapanganpun, menjadi tempat yang instagramable.

Meski Zainal Combo asal Solo, Jawa Tengah, menciptakan lagu Teluk Bayur yang dipopulerkan Erni Johan di tahun 1968, karena ada kenangan khusus akan tanah Minang. Banyak kenangan yang tersimpan di situ. Dan banyak pula cerita serupa yang ada di Teluk Bayur, Berau. Dua kampung yang berjarak sangat jauh, tapi punya nama yang sama. Begitu pula, kenangan seorang Seri Marawiah. (*/adv/udi)

Halaman:

Editor: uki-Berau Post

Tags

Rekomendasi

Terkini

Kontribusi BUM Desa di Kalbar Masih Minim

Kamis, 25 April 2024 | 13:30 WIB

Pabrik Rumput Laut di Muara Badak Rampung Desember

Senin, 22 April 2024 | 17:30 WIB
X