PROKAL.CO,
Masih lekat di ingatan, ketika seorang remaja melakukan bom bunuh diri di Hotel JW Marriot Jakarta. Remaja itu bernama Dani Dwi Permana, 18 tahun, pelaku bom bunuh diri di Hotel JW Marriott Jakarta 17 Juli 2009. Meski banyak yang menganggap apa yang ia lakukan adalah kejahatan besar, namun bagi remaja ini, boleh jadi dia merasa sedang melakukan aksi heroik. Baginya melakukan pengeboman adalah sebuah aksi terpuji dengan surga sebagai ganjaran, plus bidadari surga sebagai hadiah terindah.
Ada pula dua remaja, masing-masing Yusuf Fadhil 18 tahun dan Firman Halim (16). Keduanya sebagai pelaku aksi bom bunuh diri ke Gereja Santa Maria Tak Bercela di Surabaya Minggu, 13 Mei 2018. Tak hanya dua remaja kakak beradik ini, ayahnya, ibu, dan kedua adik mereka juga melakukan aksi bom bunuh diri di Surabaya.
Lantas, begitu mudahkah seseorang bisa terpengaruh menjadi pelaku bom bunuh diri? Apa yang menjadikan seorang remaja cerdas dengan mudah melepas genggaman impiannya demi sebuah aksi konyol?
Satu bulan terakhir, media ini berhasil membuat survei singkat yang diikuti 35 responden yakni remaja usia 16 sampai 20 tahun, melalui media sosial. Dari jumlah tersebut, ternyata ada 20 persen remaja yang mengatakan setuju soal jihad demi tegaknya negara Islam. Sementara sisanya tidak setuju. Meski survei yang dilakukan sangat terbatas, namun ini perlu menjadi perhatian serius.
Lebih jelas, Mata Air Foundation dan Alvara Research Center pernah merilis survei tentang persepsi jihad di kalangan mahasiswa dan pelajar. Persentase mahasiswa dan pelajar yang setuju jihad demi tegaknya negara Islam sudah melebihi 20 persen. CEO Alvara Research Center Hasanuddin Ali mengungkapkan, penetrasi ajaran intoleran sudah masuk di kalangan pelajar, kemudian diperkuat saat menjadi mahasiswa melalui kajian-kajian di kampus. Demikian Hasanuddin seperti dilansir JPNN.com.
Saat media ini bertemu Komjen Pol Suhardi Alius, kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) kala itu, sebelum digantikan Komjen Pol Boy Rafli Amar, mengatakan bahwa agama hanya dijadikan 'bungkus' dalam setiap aksi tindakannya. Ini yang membuat gerakan terorisme tidak bisa dianggap enteng.