Cara Mencegah Remaja Terpapar Radikal Terorisme

- Kamis, 5 November 2020 | 10:50 WIB
Ilustrasi Foto :Alinea.ID
Ilustrasi Foto :Alinea.ID

Masih lekat di ingatan, ketika seorang remaja melakukan bom bunuh diri di Hotel JW Marriot Jakarta. Remaja itu bernama Dani Dwi Permana, 18 tahun, pelaku bom bunuh diri di Hotel JW Marriott Jakarta 17 Juli 2009. Meski banyak yang menganggap apa yang ia lakukan adalah kejahatan besar, namun bagi remaja ini, boleh jadi dia merasa sedang melakukan aksi heroik. Baginya melakukan pengeboman adalah sebuah aksi terpuji dengan surga sebagai ganjaran, plus bidadari surga sebagai hadiah terindah.

Ada pula dua remaja, masing-masing Yusuf Fadhil 18 tahun dan Firman Halim (16). Keduanya sebagai pelaku aksi bom bunuh diri ke Gereja Santa Maria Tak Bercela di Surabaya Minggu, 13 Mei 2018. Tak hanya dua remaja kakak beradik ini, ayahnya, ibu, dan kedua adik mereka juga melakukan aksi bom bunuh diri di Surabaya.

Lantas, begitu mudahkah seseorang bisa terpengaruh menjadi pelaku bom bunuh diri? Apa yang menjadikan seorang remaja cerdas dengan mudah melepas genggaman impiannya demi sebuah aksi konyol?

Satu bulan terakhir, media ini berhasil membuat survei singkat yang diikuti 35 responden yakni remaja usia 16 sampai 20 tahun, melalui media sosial. Dari jumlah tersebut, ternyata ada 20 persen remaja yang mengatakan setuju soal jihad demi tegaknya negara Islam. Sementara sisanya tidak setuju. Meski survei yang dilakukan sangat terbatas, namun ini perlu menjadi perhatian serius.

Lebih jelas, Mata Air Foundation dan Alvara Research Center pernah merilis survei tentang persepsi jihad di kalangan mahasiswa dan pelajar. Persentase mahasiswa dan pelajar yang setuju jihad demi tegaknya negara Islam sudah melebihi 20 persen. CEO Alvara Research Center Hasanuddin Ali mengungkapkan, penetrasi ajaran intoleran sudah masuk di kalangan pelajar, kemudian diperkuat saat menjadi mahasiswa melalui kajian-kajian di kampus. Demikian Hasanuddin seperti dilansir JPNN.com.

Saat media ini bertemu Komjen Pol Suhardi Alius, kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) kala itu, sebelum digantikan Komjen Pol Boy Rafli Amar, mengatakan bahwa agama hanya dijadikan 'bungkus' dalam setiap aksi tindakannya. Ini yang membuat gerakan terorisme tidak bisa dianggap enteng.

Namun, Suhardi Alius yang ketika itu juga berbicara di hadapan peserta PPRA LVII Lemhannas RI di Jakarta menegaskan, tidak setuju jika terorisme selalu berhubungan dengan agama Islam. “Nyatanya di negara lain yang bukan Islam, juga ada aksi terorisme,” kata Suhardi.

Berdasarkan apa yang disampaikan mantan kepala BNPT itu, apakah remaja yang melakukan aksi radikalis terorisme, juga karena bungkus agama? Untuk menjawabnya, media ini berbincang dengan pakar teknologi pikiran, DR. DR. Adi W. Gunawan, CCH. Pendiri Adi W. Gunawan Institute of Mind Technology Surabaya itu menegaskan, posisi agama memang sangat sentral dan paling krusial di dalam pikiran bawah sadar.

“Pikiran sadar hanya mengendalikan 1 sampai 5 persen. Sebaliknya, pikiran bawah sadar, mengendalikan perilaku manusia 95 sampai 99 persen,” kata Adi. Posisi agama, berada di titik paling dalam pada pikiran bawah sadar. Artinya, ketika sebuah keyakinan sudah tertanam di pikiran bawah sadar, maka apa pun yang diyakini, akan menjadi sebuah kebenaran tertinggi dan tidak mudah diubah.

Adi pun mengakui, pernah membantu mahasiswa sebuah perguruan tinggi yang sudah terlanjur terpapar radikal terorisme, bahkan sangat siap dijadikan martir bom bunuh diri. “Ternyata begitu banyak program atau doktrin yang tertanam di pikirannya. Inilah yang harus dibersihkan,” tutur pria yang juga dikenal sebagai ketua Asosiasi Hipnoterapi Klinis Indonesia (AHKI) ini.

Adi kemudian menjelaskan, untuk bisa menanamkan sebuah program di pikiran bawah sadar, ada lima cara, yaitu figur otoritas, emosi intens, repetisi ide, indentifikasi kelompok dan relaksasi pikiran. Adi menduga, secara tidak sadar, para remaja terpapar radikal terorisme melalui lima jalur tersebut.

Figur otoritas misalnya, remaja biasanya mengagumi sosok tertentu. Ketika sudah sangat kagum, maka apa pun pandangan ideologi sosok itu akan diikuti dan dijadikan contoh.

Kedua emosi intens, remaja umumnya dalam kondisi galau dan mencari jati diri. “Ini juga kondisi yang sangat mudah ditembus pikiran sadarnya,” katanya. Ketiga repetisi atau pengulangan. Ketika remaja terus-menerus membaca atau terpapar pandangan ideologi mengarah ke radikal terorisme, maka dengan mudah masuk dalam pikiran bawah sadar. Keempat identifikasi kelompok. Jika remaja sudah gabung dalam kelompok tertentu, maka apa pun syarat dari kelompok itu akan diikuti. Terakhir relaksasi pikiran, biasanya ini melalui perenungan, kontemplasi, atau relaksasi, yoga, meditasi dan sejenisnya.

“Kelima jalur itu akan mudah menjadi pintu masuk sehingga remaja terpapar radikalisme,” katanya.

Halaman:

Editor: uki-Berau Post

Tags

Rekomendasi

Terkini

Camat Samboja Barat Tepis Isu Dugaan Pungli PTSL

Kamis, 25 April 2024 | 18:44 WIB

Sembilan Ribu Anak di PPU Diberi Seragam Gratis

Kamis, 25 April 2024 | 18:00 WIB

Pemkot Balikpapan Didesak Fasilitasi Pom Mini

Kamis, 25 April 2024 | 10:00 WIB

HIMASJA Soroti Dugaan Pungli PTSL di Samboja

Rabu, 24 April 2024 | 09:37 WIB
X