PPKM Beratkan Pelaku Usaha

- Rabu, 17 Februari 2021 | 19:38 WIB
KEBIJAKAN PROKES: Komisi II DPRD Berau menggelar rapat dengar pendapat bersama pelaku usaha kuliner dan perhotelan terkait kebijakan pembatasan kegiatan di tengah pandemi Covid-19, kemarin (16/9).
KEBIJAKAN PROKES: Komisi II DPRD Berau menggelar rapat dengar pendapat bersama pelaku usaha kuliner dan perhotelan terkait kebijakan pembatasan kegiatan di tengah pandemi Covid-19, kemarin (16/9).

TANJUNG REDEB – Para pelaku usaha kuliner dan perhotelan meminta solusi dan kebijakan atas instruksi bupati dan surat edaran Nomor 300/015/SATGAS-COVID19/2021 tentang Perpanjangan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) untuk Pengendalian Pandemi Covid-19 di Kabupaten Berau.

Hal itu disampaikan melalui rapat dengar pendapat yang digelar Komisi II DPRD Berau bersama bupati Berau, Satgas Covid-19, TNI, Polri, Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) dan perwakilan pedagang kaki lima (PKL), Selasa (16/2).

Dalam pertemuan tersebut, beberapa masalah diutarakan oleh perwakilan pelaku usaha. Salah satunya Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Berau, Yozzi. Dia mengatakan, pihaknya telah bersurat agar diberikan solusi terhadap persoalan yang dihadapi para pelaku usaha dengan adanya kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM). Termasuk instruksi bupati Berau terkait pembatasan jam operasional dan aturan larangan makan di tempat. Sebab kebijakan itu memberatkan dan dampaknya sangat dirasakan pelaku usaha kuliner, restoran dan kafe.

Bahkan kata dia, ada beberapa usaha yang harus ditutup total. Seperti kafe, tempat karaoke dan hiburan malam. “Sedangkan para pelaku usaha harus tetap membayar biaya operasional dan juga gaji karyawan,” katanya. “Pengusaha juga tidak dapat melakukan pemecatan karyawan,” lanjutnya.

Menurut Yozzi, kebanyakan pelaku usaha dan pedagang kaki lima kuliner, terutama yang beroperasi di kawasan tepian Jalan Ahmad Yani dan Pulau Derawan memiliki pelanggan ketika malam hari. Namun dengan adanya pembatasan jam operasional dan pemberlakuan take away menyebabkan penjualan mereka menurun drastis. “Banyak masyarakat yang lebih suka makan di tempat. Terutama ketika malam hari, apalagi di akhir pekan Sabtu dan Minggu. Tapi adanya kebijakan pembatasan operasional, ini sangat memberatkan,” katanya.

Selanjutnya, untuk pelaku usaha yang sudah bersertifikat CHSE (Cleanliness, Health, Safety, Environment Sustainability), seharusnya sudah cukup membuktikan bahwa tempat usaha tersebut sangat taat terhadap protokol kesehatan (Prokes). Sehingga usaha tersebut sekiranya dapat dikecualikan.

Yozzi pun mengusulkan, setidaknya para pelaku usaha dapat tetap berusaha, namun dengan menandatangani surat perjanjian penerapan protokol kesehatan. “Jika mereka melanggar, siap diberikan sanksi untuk penutupan atau pencabutan izin usaha,” tegasnya.

Sementara itu, menurut Ketua Komisi II DPRD Berau, Atilagarnadi,  pelaku usaha tetap membuka usaha masing-masing, namun diberikan pembatasan. Sebab ia menilai bahwa banyak pedagang kaki lima yang tidak menerapkan protokol kesehatan. Sehingga kebijakan bupati membatasi operasional itu untuk menekan angka kasus positif Covid-19 sudah benar. “Jika dari awal prokes 3 M dipatuhi dengan benar, tidak akan ada kebijakan seperti ini,” ungkapnya. “Satu yang berbuat, semua terkena dampaknya,” sambungnya.

Sementara itu, Bupati Berau, Agus Tantomo menegaskan tidak akan memberikan kelonggaran disiplin protokol kesehatan baik kepada masyarakat maupun pelaku usaha. Sebab kebijakan prokes merupakan instruksi pusat yang tidak bisa diubah. “Saya tidak akan mengeluarkan kebijakan yang mengancam nyawa orang banyak. Jangankan melanggar, melonggarkan protokol kesehatan saja saya tidak mau,” tegas Agus Tantomo.

Dia menegaskan, tidak melarang pelaku usaha berjualan. Yang dilarang, lanjutnya, melanggar protokol kesehatan. Karena itu ia mengeluarkan kebijakan bagi pelaku usaha warung makan dan kafe larangan menyediakan pelayanan makan di tempat. Hal ini semata-mata untuk mendisiplinkan masyarakat terhadap protokol kesehatan untuk memutus mata rantai penularan Covid-19. Sebab jika ada makan di tempat, maka masyarakat akan membuka masker yang artinya melanggar protokol kesehatan.

“Ada aturan denda jika masyarakat tidak mengenakan masker. Jika makan di tempat, mereka sudah melepas masker, maka mereka wajib di denda,” ungkapnya.

Dikatakannya, dari data yang ada, kebanyakan masyarakat yang terpapar Covid-19 rata-rata berusia 24 hingga 29 tahun. “Ini membuktikan masyarakat seumuran itu masih sering nongkrong. Walaupun yang meninggal kebanyakan adalah masyarakat lanjut usia (lansia),” terangnya.

Agus Tantomo menjelaskan, sebelumnya dia telah membuat beberapa peraturan untuk menekan angka penularan Covid-19. Seperti pendisiplinan penerapan protokol kesehatan. Namun masih banyak ditemukan pelanggaran. Sehingga ketika turun instruksi untuk meniadakan kegiatan selama akhir pekan Sabtu dan Minggu, masyarakat pun harus mematuhi. “Sudah diberikan kemudahan sebelumnya, namun diabaikan,” ujarnya.

Dia mengatakan, hal tersebut dilakukan karena peningkatan kasus positif Covid-19 di Kabupaten Berau, di mana per harinya rata-rata sebanyak 50 orang terkonfirmasi.  “Semua usaha saya wajibkan, baik usaha besar dan kecil. Tidak ada yang dikecualikan,” katanya. “Saya lebih memilih menyelamatkan nyawa manusia, dibandingkan dengan urusan perut,” sambungnya.

Halaman:

Editor: izak-Indra Zakaria

Tags

Rekomendasi

Terkini

Camat Samboja Barat Tepis Isu Dugaan Pungli PTSL

Kamis, 25 April 2024 | 18:44 WIB

Sembilan Ribu Anak di PPU Diberi Seragam Gratis

Kamis, 25 April 2024 | 18:00 WIB

Pemkot Balikpapan Didesak Fasilitasi Pom Mini

Kamis, 25 April 2024 | 10:00 WIB

HIMASJA Soroti Dugaan Pungli PTSL di Samboja

Rabu, 24 April 2024 | 09:37 WIB
X