Etika Komunikasi

- Minggu, 28 Maret 2021 | 20:05 WIB
Tri Romadhani
Tri Romadhani

PENENTU kebijakan adalah, dia yang memiliki kuasa atas apa yang dapat dilakukan maupun tidak oleh masyarakat. Dia wakil yang dipilih oleh masyarakat secara langsung untuk memimpin sekaligus melayani kepentingan masyarakat. Dia sang pemegang kebijakan yang dinanti masyarakat untuk membawa kehidupan yang lebih baik.

Secara teoritis, tujuan pelayanan publik adalah untuk memberikan kepuasan kepada masyarakat. Agar pelayanan yang diberikan berkualitas, maka dibutuhkan gerak yang aktif dari pemimpin. Seperti melakukan kegiatan komunikasi yang beretika, serta melakukan gerakan nyata dalam memenuhi keinginan masyarakat.

Menurut Lenvine (1990), terdapat minimal tiga indikator pelayanan publik. Yaitu, assurance yang ditandai dengan tingkat perhatian terhadap etika dan moral, dalam memberikan pelayanan; responsiveness yang ditandai dengan keinginan utuk melayani masyarakat dengan cepat; reliability yang ditandai dengan pemberian pelayanan yang tepat dan benar.

Seorang pemimpin harus mampu membuat masyarakat percaya bahwa apa yang menjadi keputusannya, adalah yang terbaik hanya dengan kemampuan berkomunikasi dan retorika. Tak terkecuali Gubernur Kalimantan Timur, Isran Noor.

Isran menjadi gubernur setelah memenangkan prolehan suara sebesar 31,33 persen dari total 1.333.090 suara sah, pada pemilu yang telah diselenggarakan pada 27 Juni 2018 lalu. Isran mampu menarik simpati masyarakat Kaltim dan membawanya menjadi ‘Kaltim 1’ selama 5 tahun masa jabatan.

Keberhasilannya menarik simpati masyarakat, tidak jauh dari kemampuannya dalam berkomunikasi. Berbagai lapisan masyarakat mampu dia masuki dan yakinkan, bahwa dirinyalah yang pantas menjadi pemimpin di Benua Etam.

Namun dalam perjalanan setelah dirinya menduduki kursi nomor 1 di Kaltim, timbul pro-kontra dalam masyarakat terhadap gaya berbicara yang dia gunakan. Termasuk saat menjawab pertanyaan wartawan yang melakukan wawancara, terkait persoalan-persoalan yang terjadi di Kaltim.

Gaya komunikasi kepada publik yang terkesan nyeleneh dan cenderung dinilai sebagai sebuah lelucon, berhasil menimbulkan ‘keributan’ di masyarakat. Masyarakat menilai sangat jarang ada pejabat publik yang menggunakan komunikasi seperti itu.

Alhasil ada masyarakat yang kecewa dengan cara penyampaian yang dilakukan oleh gubernur, tetapi juga banyak masyarakat yang merasa terhibur dengan tingkah laku Isran Noor. Itu dibuktikan dengan banyak sekali perbincangan mengenai celotehan Isran Noor di media sosial.

Kehebohan pertama yang menjadi perbincangan masyarakat luas adalah, ketika Gubernur Isran Noor menanggapi perihal korban ke-30 dari lubang bekas tambang yang tidak direklamasi oleh perusahaan. Anak yang meninggal dunia di lokasi bekas galian tambang tersebut disebut Isran Noor, memang telah digariskan untuk meninggal di kolam bekas galian tambang. Lebih lanjut dia juga sempat mengatakan bahwa bekas galian tambang ‘berhantu’.

Tak sampai di situ, masyarakat juga sempat dibuat heran karena tanggapan Gubernur Kaltim terkait demonstrasi penolakan UU Omnibus Law Cipta Kerja, akhir 2020 lalu. Gubernur mengatakan bahwa dirinya tidak pintar karena tidak sekolah, serta belum membaca isi dari undang-undang tersebut.

Etika sendiri berasal dari bahasa Yunani yaitu “ethos” yang berarti karakter, watak kesusilaan atau adat kebiasaan. Aristoteles memberikan istilah Ethica yang meliputi dua pengertian. Yaitu etika meliputi ketersediaan dan kumpulan peraturan, dalam bahasa Latin dikenal dengan mores yang artinya kesusilaan. Menurut Wijaya (1985), mores berkembang menjadi moralitas yang artinya kesediaan jiwa akan kesusilaan, terkait dengan topik pelayanan publik, maka moralitas ini dapat kita hubungkan dengan moralitas Gubernur Isran Noor dalam melakukan pelayanan.

Moral dapat terjadi bila dikaitkan dengan masyarakat. Tidak ada moral bila tidak ada masyarakat, dan syogyanya tidak ada masyarakat tanpa moral.

Terkait dengan masalah etika komunikasi dalam reformasi pelayanan publik, komunikasi yang dilakukan antara publik dengan pemimpin sangat diperlukan usaha yang serius dalam penyampaian informasi, sehingga tercipta kesamaan pengertian dan tidak menimbulkan persepsi negatif yang mengarah pada ketidakpuasan. Komunikasi yang dilakukan antara publik dengan pemegang kebijakan seharusnya masuk pada dimensi komunikasi antar-individu dan komunikasi kelompok. Di mana secara individu, mereka saling bertemu secara langsung, bertatap muka melakukan komunikasi terkait dengan pelayanan, serta terkadang kala mereka bertemu dalam dimensi komunikasi kelompok yang sifat komunikasinya menjadi lebih luas. (*/udi)

Halaman:

Editor: uki-Berau Post

Tags

Rekomendasi

Terkini

Camat Samboja Barat Tepis Isu Dugaan Pungli PTSL

Kamis, 25 April 2024 | 18:44 WIB

Sembilan Ribu Anak di PPU Diberi Seragam Gratis

Kamis, 25 April 2024 | 18:00 WIB

Pemkot Balikpapan Didesak Fasilitasi Pom Mini

Kamis, 25 April 2024 | 10:00 WIB

HIMASJA Soroti Dugaan Pungli PTSL di Samboja

Rabu, 24 April 2024 | 09:37 WIB
X