TALISAYAN – Produksi jagung di Kampung Eka Sapta, Kecamatan Talisayan terancam beralih fungsi. Seiring dengan masyarakat setempat yang mulai melakukan penanaman sawit.
Padahal, kampung yang berada di wilayah pesisir ini, memiliki potensi lahan pertanian produksi jagung mencapai sekitar 400 Hektar.
Kepala Kampung Eka Sapta, Syamsul Arifin mengatakan, para petani di kampungnya saat ini menggunakan metodologi tumpang sari, dalam mengolah lahan pertanian. Yaitu mencampur tanaman jagung dengan tanaman sawit di satu lahan. Metode ini dianggap berpotensi dapat menggeser tanaman jagung dan digantikan sawit.
"Jadi jika ini dibiarkan, perlahan produksi tanaman jagung di kampung kami akan semakin menurun," ungkapnya.
Saat ini, ia menyebut masyarakat memang dapat menikmati hasil panen dua jenis tanaman dalam satu lahan. Namun, ke depannya tentu masyarakat hanya menikmati satu tanaman saja, karena tanaman lain mulai mati akibat dominasi pertumbuhan di lahan tersebut.
Karena itu, untuk mengatasi persoalan tersebut, pihaknya mencoba memberikan pemahaman kepada masyarakat, sebagai upaya mencegah potensi menurunnya pertanian jagung di kampungnya.
"Apalagi harga jagung saat ini di angka sekitar Rp 3 ribu, tentu ini angka yang sangat baik bagi para petani. Harga jagung 1 tahun terakhir sudah mulai stabil," jelasnya.
Lanjutnya, pemerintah kampung juga tengah mempersiapkan lahan milik pemerintah daerah, agar dapat diolah menjadi lahan produktif produksi jagung. Sehingga, jika lahan milik masyarakat mulai beralih fungsi, menjadi lahan kelapa sawit. Maka lahan tersebut yang menjadi solusi mempertahankan produksi jagung di Kampung Eka Sapta.
Hanya saja, dalam prosesnya ia masih terkendala penentuan lokasi lahan. Lantaran belum ditetapkannya tapal batas antara Kampung Eka Sapta dengan kampung sekitar.
"Kami masih menunggu penetapan dari pemerintah terkait tapal batas, setelah itu kami tentukan lokasi lahan yang akan digarap oleh masyarakat," tutupnya. (*/uga/arp)