Dicopot, Makmur Ingatkan Etika Berpolitik

- Senin, 21 Juni 2021 | 19:45 WIB
Makmur HAPK
Makmur HAPK

BERGULIR sejak akhir tahun lalu, isu pencopotan Makmur HAPK sebagai ketua DPRD Kaltim periode 2019-2024 akhirnya terjawab. Politikus senior Golkar itu akan digantikan Hasanuddin Mas’ud yang kini menjabat ketua Komisi III DRPD Kaltim. Hasanuddin adalah saudara kandung dari Rudi Mas’ud yang saat ini menjabat sebagai ketua DPD Golkar Kaltim dan anggota DPR RI.

Sekretaris DPD Golkar Kaltim Husni Fahruddin mengatakan, pihaknya baru menerima salinan surat penggantian antarwaktu (PAW) secara resmi pada Minggu (20/6). Sebelumnya, surat tersebut beredar luas melalui media sosial. Isinya, persetujuan Ketua Umum DPP Golkar Airlangga Hartarto dan Sekjen Lodewijk F Paulus terkait PAW pimpinan DPRD Kaltim sisa masa jabatan 2019-2024. Surat itu, ditandatangani di Jakarta pada 16 Juni 2021. Ditujukan kepada ketua DPD Golkar Kaltim dan memerintahkan agar segera menindaklanjuti proses PAW.

"Surat barusan (kemarin) kami terima, isinya sama dengan yang beredar. Intinya besok (hari ini) akan kami akan lakukan rapat-rapat internal untuk menindaklanjuti surat DPD tersebut," katanya. Pria yang akrab disapa Ayub itu melanjutkan, surat tersebut merupakan bagian dari evaluasi dan strategi Partai Golkar agar bisa lebih produktif lagi. Jajaran partai pun menurutnya siap untuk menjalankan keputusan ini. "Tentunya setiap surat atau keputusan pimpinan partai sudah melalui pertimbangan serta tujuan yang baik. Maka kita sebagai kader harus siap mengikutinya," katanya.

Dalam waktu dekat, DPP akan melakukan konsolidasi internal dengan Makmur HAPK dan Hasanuddin Mas’ud. "Termasuk dengan kawan-kawan pengurus Golkar lain," ungkapnya. Dikonfirmasi terpisah, Makmur HAPK enggan berkomentar banyak. Itu dikarenakan masih belum menerima surat resmi terkait usulan penggantian dirinya sebagai ketua DPRD Kaltim yang dijabatnya sejak 3 Oktober 2019.

“Karena, biasanya yang ditunjuk dan yang menggantikan harus ada suratnya,” katanya kemarin. Jika surat itu benar, mantan bupati Berau ini menuturkan, usulan PAW itu merupakan hak partai. Akan tetapi, dia menegaskan setiap kader partai juga memiliki hak yang sama. Untuk meminta penjelasan yang mendasari adanya usulan penggantian tersebut. “Kan ada etika dalam partai. Apalagi saya enggak pernah ditelepon dan diberitahu, mengenai usulan penggantian ini. Makanya kalau ada yang salah silakan disampaikan kepada saya,” ucap Makmur.

Dia melanjutkan, jika PAW berhubungan dengan kinerjanya selama hampir dua tahun menjabat ketua DPRD Kaltim, maka DPD Golkar Kaltim harus menjelaskannya. Karena selama ini, Makmur merasa sudah menjalankan perintah partai dengan baik. Apalagi keputusan untuk mengganti dirinya sebagai ketua DPRD Kaltim terkesan terburu-buru. Oleh karenanya, Makmur menyatakan akan segera menemui pimpinan Golkar Kaltim untuk mempertanyakan dasar PAW tersebut.

“Didengar atau tidak, itu urusan beliau. Tapi tentunya, partai tidak boleh semena-mena. Dan harus menghargai kadernya. Walaupun fokusnya saya tahu. Saya bukan orang bodoh. Ya silakan, wartawan yang menganalisisnya. Kalau saya yang analisis, bukan saat ini,” tutur Makmur yang bergabung dengan Partai Golkar sejak tahun 1985 melalui Angkatan Muda Pembaharuan Indonesia (AMPI) Kabupaten Berau. Dia menyatakan, bahwa dirinya tidak pernah meminta untuk ditunjuk menjadi ketua DPRD Kaltim. Apalagi menurutnya selama ini, dirinya selalu loyal kepada partai dan tidak memiliki kesalahan fatal yang berpotensi untuk menerima PAW.

“Tapi saya enggak tahu. Yang bisa menilai diri kita ‘kan orang lain. Kalau mungkin saya pernah mencemarkan nama partai, ya sampaikan saja. Saya juga harus sportif menerima. Makanya, harus ada alasannya. Tapi sementara saya tidak berkomentar banyak dulu,” sebutnya.

Mulus tidaknya PAW Makmur ke Hasanuddin Mas’ud kini tergantung keputusan DPRD Kaltim di Karang Paci, Samarinda. Akademisi hukum Universitas Mulawarman (Unmul) Samarinda Herdiansyah Hamzah menjelaskan, masa jabatan pimpinan DPRD terhitung sejak tanggal pengucapan sumpah atau janji pimpinan dan berakhir bersamaan dengan berakhirnya masa jabatan keanggotaan DPRD. Namun demikian, pimpinan DPRD bisa diberhentikan sebelum masa jabatannya berakhir. Dengan catatan, yang bersangkutan meninggal dunia, mengundurkan diri, diberhentikan sebagai anggota DPRD, atau diberhentikan sebagai pimpinan DPRD.

Dalam ketentuan Pasal 36 Ayat (3) PP 12/2018 tentang Pedoman Tata Tertib DPRD, juncto Pasal 24 ayat (4) Peraturan DPRD Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib DPRD Provinsi Kaltim, disebutkan secara eksplisit bahwa, pimpinan DPRD diberhentikan dalam dua kondisi. Pertama, melanggar sumpah atau janji dan kode etik berdasarkan keputusan Badan Kehormatan. Kedua, partai politik mengusulkan pemberhentian yang bersangkutan sebagai pimpinan DPRD sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Jadi, sambung dosen yang akrab disapa Castro itu, secara prosedural, parpol memang memiliki hak untuk mengusulkan pemberhentian anggotanya sebagai pimpinan DPRD. “Namun demikian, seharusnya partai politik asal juga harus punya alasan yang masuk akal dan memadai untuk mengganti anggotanya sebagai pimpinan DPRD. Bukan asal main ganti begitu saja. Sebab sejak saat anggotanya diusulkan untuk diangkat menjadi pimpinan DPRD, maka sesungguhnya partai politik sudah menghibahkan anggotanya untuk kepentingan rakyat. Jadi ada hak publik yang mesti dipertimbangkan juga. Untuk itu, mesti jelas apa alasan penggantiannya,” katanya.

Apabila Makmur keberatan terhadap keputusan DPP Golkar yang mengusulkan pemberhentiannya sebagai pimpinan DPRD Kaltim, Castro menyebut dikategorikan sebagai perselisihan partai politik. Pada Pasal 32 Ayat (1) UU 2/2011 tentang Perubahan UU 2/2008 tentang Partai Politik, ucap pria berkacamata itu, secara eksplisit menyebutkan bahwa cakupan perselisihan partai politik meliputi; perselisihan yang berkenaan dengan kepengurusan, pelanggaran terhadap hak anggota partai politik, pemecatan tanpa alasan yang jelas, penyalahgunaan kewenangan, pertanggungjawaban keuangan, dan/atau keberatan terhadap keputusan partai politik.

Untuk itu, kata dia, penyelesaian terhadap perselisihan ini harus dilakukan secara internal melalui Mahkamah Partai Politik dalam waktu 60 hari. Sebagaimana diatur dalam Pasal 32 UU 2/2011 tentang Partai Politik. Terkecuali, jika penyelesaian perselisihan tidak tercapai, maka proses berikutnya diserahkan kepada pengadilan negeri (PN) paling lama 60 hari. Putusan PN merupakan putusan di tingkat pertama dan terakhir. Dan hanya dapat diajukan kasasi paling lama 30 hari sesuai Pasal 33 UU 2/2011 tentang Partai Politik.

“Inilah proses formil yang harus ditempuh sebelum pemberhentian pimpinan DPRD dilakukan dalam rapat paripurna untuk ditetapkan melalui keputusan DPRD. Jika proses penyelesaian perselisihan tersebut tidak dilakukan melalui mekanisme yang disebutkan di atas, dan DPRD nantinya tetap bersikeras menetapkan keputusan pemberhentian tersebut, maka keputusan itu rentan digugat melalui Pengadilan Tata Usaha Negara. Dan konsekuensinya adalah, keputusan DPRD tersebut lemah dalam argumentasi prosedural,” jelasnya. Apabila PAW berjalan mulus dan ditetapkan dalam rapat paripurna melalui keputusan DPRD, tahapan selanjutnya usulan pengangkatan calon pengganti pimpinan DPRD kepada menteri dalam negeri, melalui gubernur.

Halaman:

Editor: uki-Berau Post

Tags

Rekomendasi

Terkini

Bendungan Marangkayu Sudah Lama Dinanti Warga

Jumat, 29 Maret 2024 | 16:45 WIB
X