Dramaturugi Menurunkan Kepercayaan

- Sabtu, 15 Januari 2022 | 20:37 WIB
Oleh: Atika Nurin Faridah
Oleh: Atika Nurin Faridah

BEBERAPA waktu lalu, untuk pertama kalinya saya mendengar istilah dramaturgi, tepatnya di kelas Pengantar Sosiologi. Kami belajar apa itu dramaturgi lengkap dengan contohnya. Dari kelas itulah, kemudian saya memikirkan banyak hal tentang dramaturgi di dalam atau di luar diri saya. Kali ini saya ingin menyampaikan apa saja yang saya rasakan dan temukan.

Dalam pengertian saya, dramaturgi adalah proses ketika individu ingin menyembunyikan beberapa sifat asli dirinya, dan memunculkan sikap-sikap baru untuk menunjang kehidupannya.

Dramaturgi sebenarnya adalah hal yang wajar. Namun menurut saya, tidak semua dramaturgi dapat disebut wajar. Dengan melihat pengertian awal, dramaturgi yang sebenarnya semacam tipuan. Tentu sedikit banyak akan merugikan orang lain. Orang lain akan cenderung kebingungan untuk menilai seseorang yang kemudian akan berpengaruh juga kepada bagaimana mereka menyikapi orang tersebut.

Dramaturgi yang wajar adalah yang cenderung memberi manfaat yang lebih besar daripada kerugian yang ditimbulkannya. Sedangkan yang tidak seperti itu adalah dramaturgi yang kurang atau bahkan tidak wajar.

Dramaturgi memang tak bisa dilepaskan dari kehidupan kita, apalagi di zaman yang penuh dengan teknologi seperti saat ini. Dengan kemajuan teknologi, sebuah informasi dapat menyebar ke berbagai penjuru dunia hanya dengan hitungan detik, dan tanpa peduli apakah itu informasi yang benar ataukah hoaks belaka.

Kebiasaan membaca yang kurang akan membuat individu semakin mudah menelan informasi tadi secara mentah-mentah. Mereka yang cenderung suka hal instan, akan segera memutuskan apakah ia setuju atau tidak, apakah ia akan membagikan ulang informasi yang didapatnya atau tidak, apakah mereka akan memuji atau mencaci, dan keputusan-keputusan lainnya. Meski terlihat kecil, keputusan-keputusan ini sangatlah berpengaruh bagi hal-hal besar selanjutnya.

Mari kita membayangkannya. Seorang individu yang tingkat bacanya rendah memperoleh sebuah informasi. Ia butuh tak kurang dari lima menit untuk merasa paham, kemudian mulai menyimpulkan dan memutuskan apa yang akan dilakukannya. Ia memutuskan untuk membagikannya ke banyak orang melalui akun media sosialnya. Ia berpikir semua orang harus tahu ini.

Nah, jika seandainya informasi itu benar, maka mungkin saja tidak menjadi masalah apapun, namun seandainya informasi itu hoaks atau salah, maka dapat dipastikan bahwa kesalahpahaman akan terjadi di mana-mana. Hasilnya akan sangat berbeda tentunya.

Selain merugikan orang lain, beberapa kasus dramaturgi juga dapat merugikan sang pelaku sendiri. Mereka yang melakukan dramaturgi mengalami saat ketika ia tidak menjadi dirinya sendiri. Terkadang, ia harus rela menunda atau meninggalkan sesuatu yang sebenarnya ia inginkan, atau bahkan melakukan sesuatu yang kurang disukai atau dibenci oleh dirinya.

Hal itu demi sebuah kesan yang akan dilihat orang lain dari dirinya. Meski tak sepenuhnya salah, sikap ini justru menghambat perkembangan dirinya. Contoh sederhana dari hal ini adalah ketika kita dihadapkan kepada suatu pilihan, katakanlah seorang anak kelas 11 SMA yang harus memilih akan masuk jurusan IPA atau IPS. Anak ini memiliki bakat di bidang IPS, namun seperti anggapan orang-orang di sekelilingnya bahwa jurusan IPA adalah yang terbaik dan jurusan IPS hanya tempat orang-orang ‘nakal’. Maka karena ia tidak ingin dicap ‘nakal’, ia memutuskan untuk masuk jurusan IPA tanpa memikirkan kembali segala konsekuensi yang akan dihadapinya. Padahal jika ia mengikuti minat dan bakatnya, yaitu jurusan IPS, sangat mungkin baginya untuk menjadi orang-orang yang sukses dalam bidang tersebut.

Dari uraian serta contoh sederhana tadi, saya rasa Anda mulai paham dramaturgi seperti apa yang saya maksud. Lalu, bagaimana dengan dramaturgi di lingkungan kita saat ini? Entah itu dalam lingkup pertemanan, masyarakat, bahkan negara?

Salah satu yang dapat kita temukan adalah dramaturgi di politik Indonesia. Semakin hari, saya rasa politik di Indonesia semakin kacau-balau. Ini bukan tentang siapa pemimpinnya, saya lebih melihat ke arah bagaimana kepercayaan masyarakat Indonesia terhadap pemerintahan saat ini sangatlah menurun. Banyak kritik, keluhan dan pernyataan-pernyataan tidak setuju yang tersebar di berbagai media, khususnya media sosial. Dengan menurunnya kepercayaan, maka semakin sulit pemerintah membangun dan mencapai tujuan negara, padahal tercapainya tujuan dapat membuktikan bahwa pemerintahan bekerja dengan baik.

Namun apakah menurunnya kepercayaan masyarakat terjadi tanpa sebab? Tentu tidak, bukan? Ini tak lain dan tak bukan adalah sebuah efek yang ditimbulkan oleh dramaturgi tadi.

Setiap pejabat atau pemegang kekuasaan di negara kita, selalu melontarkan pernyataan kepeduliannya hampir di setiap kesempatan. Seperti kita tahu, bahwa hal tersebut  sangatlah wajar dilakukan. Namun, jika tidak didampingi dan didukung oleh bukti-bukti konkret, pandangan masyarakat tentu akan berubah. Mereka yang semula percaya dan merasa bisa mengandalkan pemerintah, akan kehilangan kepercayaan itu. Ditambah lagi dengan kejadian-kejadian aneh tapi nyata yang sering terjadi belakangan ini. Salah satunya adalah para elite politik sering menggunakan bencana alam sebagai kesempatan untuk menguatkan posisinya. Alih-alih memikirkan solusi ke depannya, terkadang mereka bahkan tanpa ragu memasang baliho atau poster berisikan kampanye masing-masing, demi terlihat peduli akan bencana tersebut.

Halaman:

Editor: uki-Berau Post

Tags

Rekomendasi

Terkini

Camat Samboja Barat Tepis Isu Dugaan Pungli PTSL

Kamis, 25 April 2024 | 18:44 WIB

Sembilan Ribu Anak di PPU Diberi Seragam Gratis

Kamis, 25 April 2024 | 18:00 WIB

Pemkot Balikpapan Didesak Fasilitasi Pom Mini

Kamis, 25 April 2024 | 10:00 WIB
X