Kaltim Sepatutnya Jangan Terlena

- Kamis, 20 Januari 2022 | 20:14 WIB
EMAS HITAM: Tongkang-tongkang pengangkut batu bara saat melintasi perairan Sungai Segah.
EMAS HITAM: Tongkang-tongkang pengangkut batu bara saat melintasi perairan Sungai Segah.

TANJUNG REDEB – Komoditas batu bara menjadi primadona sepanjang semester kedua tahun 2021 lalu. Selama tujuh bulan, sejak Juni hingga Desember, harga batu bara acuan (HBA) yang ditetapkan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral selalu di atas USD 100 per ton. HBA tertinggi pada November bahkan menyentuh USD 215 per ton. Harga tersebut adalah HBA tertinggi dalam sejarah sejak emas hitam pertama kali diperdagangkan secara internasional mulai tahun 2000.

Harga komoditas yang prima sepanjang 2021 sebenarnya nampak kontras dibandingkan tahun sebelumnya. Pada 2020, HBA tertinggi hanya USD 67,08 per ton yakni pada Maret. Adapun HBA rata-rata sepanjang 2020 hanya USD 58,17 per ton. Sementara itu, HBA rata-rata pada 2021 menembus USD 121,47 per ton. Dapat dikatakan secara umum, harga batu bara pada 2021 naik 108 persen atau lebih dua kali lipat dibanding 2020.

“Fluktuasi atau naik-turunnya harga komoditas mentah seperti batu bara dalam waktu sesingkat ini adalah hal yang wajar,” ujar Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia Kaltim, Tutuk SH Cahyono, ketika diwawancarai saat harga batu bara sedang tinggi-tingginya pada November 2021 lalu.

Makanya, sambung dia, apabila dalam setahun atau dua tahun mendatang harga komoditas jatuh, bukan hal yang aneh pula. Harga komoditas sumber daya alam memang fluktuatif. Walaupun demikian, dampak kenaikan harga batu bara sejak Juni hingga Desember 2021 terlihat jelas dari nilai ekspor Kaltim. Dari sektor pertambangan, ekspor batu bara Kaltim diperkirakan menembus Rp 116 triliun dalam kurun Juni hingga Oktober 2021. Nilai ekspor batu bara ini meningkat 243 persen atau dua kali lipat lebih dibanding kurun yang sama pada tahun 2020.

Menurut publikasi Badan Pusat Statistik Kaltim, nilai ekspor batu bara Kaltim pada Juni 2021 sebesar USD 1.415 juta, sedangkan pada Oktober 2021 sudah menembus USD 2.121 juta. Total ekspor batu bara Kaltim sepanjang Juni 2021 hingga Oktober 2021 mencapai USD 8.321 juta atau sekitar Rp 116 triliun (kurs Rp 14.000 per USD).

“Besar nilai ekspor ini setara dengan biaya pembangunan 116 Jembatan Mahkota IV (Jembatan Kembar) di Samarinda,” ujarnya.

Tutuk SH Cahyono mengatakan, penghentian ekspor memang langkah yang bagus dari sisi pemerintah, untuk memastikan pasokan energi dalam negeri. Menurutnya, pengusaha telah mendapatkan untung besar dari peningkatan harga batu bara tahun lalu. Kini, waktunya kepentingan nasional yang diutamakan.

“Permintaan global sedang tinggi sementara stok terbatas. Ditambah faktor cuaca, harga komoditas melejit," imbuhnya.

BI Kaltim memperkirakan, melejitnya harga baru bara tidak berlangsung lama. Harga komoditas dapat turun dengan cepat, secepat kenaikannya. Kondisi ini tidak terlepas dari kebijakan pemerintah Tiongkok yang tengah meningkatkan produksi batu bara dalam negeri. Pasokan tersebut diperkirakan turut memengaruhi harga emas hitam di pasar global.

Sementara itu, untuk jangka menengah, Tiongkok bersiap mengurangi emisi karbon dengan menghentikan operasi pembangkit batu bara. Kebijakan ini berhubungan dengan program langit bersih. Sebagai gantinya, Tiongkok menyiapkan sumber energi terbarukan dengan membangun 100 gigawatt pembangkit tenaga surya dan 50 gigawatt tenaga angin setiap tahun.

Tiongkok tidak sendirian. Pada 31 Oktober hingga 12 November 2021, Conference of Parties (COP) ke-26 diadakan United Nations Climate Change. Sebanyak 190 negara membahas isu perubahan iklim di Glasgow, Skotlandia. Forum tersebut menyepakati pengurangan emisi gas rumah kaca dan dampak perubahan iklim. Seluruh negara tersebut akan mempercepat penghentian konsumsi energi dari bahan bakar fosil.

Sebanyak 73 institusi juga termasuk 46 negara sepakat menghentikan operasi PLTU batu bara. Negara maju menghentikan pembangkit listrik mulai 2030 dan negara berkembang memulainya pada 2040. Akhir dari industri ekstraktif batu bara, sebagaimana disebut Menteri Bisnis dan Energi Inggris, Kwasi Kwarteng, sudah di depan mata.

Sementara itu, Analis Eks Wakil Menteri BUMN Arcandra Tahar mengungkapkan, menggilanya harga batu bara sepanjang 2021 memang disebabkan beberapa faktor. Sejumlah ekonom menilai, kondisi energi di Tiongkok yang paling memengaruhi. Negara tujuan ekspor batu bara terbesar Indonesia ini mengalami krisis energi yang dilatarbelakangi program langit bersih dari Presiden Xi Jinping.

Padahal, konsumsi energi di Tiongkok tengah meningkat setelah bangkit dari pandemi Covid-19. Permintaan batu bara Negeri Tirai Bambu makin tinggi karena ketegangan politik Tiongkok dengan Australia.

Halaman:

Editor: uki-Berau Post

Tags

Rekomendasi

Terkini

Kontribusi BUM Desa di Kalbar Masih Minim

Kamis, 25 April 2024 | 13:30 WIB

Pabrik Rumput Laut di Muara Badak Rampung Desember

Senin, 22 April 2024 | 17:30 WIB
X