Perwujudan HAM melalui Perlindungan Pengungsi Myanmar

- Senin, 18 Juli 2022 | 18:15 WIB
Dwika Intishar Shafara
Dwika Intishar Shafara

Hak Asasi Manusia (HAM) secara singkat dapat didefinisikan sebagai hak-hak yang dimiliki manusia semata-mata karena ia manusia, dan bukan karena diberikan oleh masyarakat atau hukum positif. Jika dirunut jauh ke belakang, sesungguhnya wacana HAM telah hidup bahkan sejak jaman Yunani Kuno dan Romawi, ketika terjadi perdebatan kontroversial yang menggeser hak objektif dan hak subjektif. 


Ketika itu sudah dikenal konsep hak, namun hak ini tidak melekat pada semua orang, melainkan hanya dimiliki sebagian orang sesuai status, kolektivitas, dan kelas. Isu-isu mengenai HAM berkaitan dengan masalah di masyarakat transnasional. Transnasionalisme secara luas merujuk kepada ikatan-ikatan dan interaksi-interaksi yang menghubungkan orang-orang atau institusi-institusi melewati batas-batas negara-bangsa. 

 

Jika merujuk pada pengertian tersebut, dapat dilihat bahwasanya isu-isu HAM berkembang dan terjadi di seluruh dunia. Sejak tahun 1948 dunia telah memiliki Universal Declaration of Human Rights sebagai pedoman bagi semua negara untuk menghormati HAM.

 

Adapun dewasa ini, isu hak asasi manusia (HAM) dapat dikatakan sebagai salah satu isu yang paling hangat dibicarakan dalam hubungan internasional. Di tengah derasnya arus penegakan HAM, permasalahan HAM mengenai kasus mengenai hak perempuan, hak anak-anak, hak imigran, dan sebagainya semakin meningkat dan itu semua merupakan bentuk permasalahan HAM dalam masyarakat transnasional karena telah melintasi batas negara. 

 

Terutama permasalahan HAM dalam kasus penegakan HAM bagi pengungsi (Refugee). Human Rights Refugees adalah mereka yang (terpaksa) meninggalkan negara atau kampung halaman mereka karena adanya “fear of being persecuted”, yang disebabkan masalah ras, agama, kebangsaan atau keyakinan politik. Telah ada Konvensi dan Protokol yang mengatur Status dari pengungsi yaitu United Nations High Commissioner for Refugee (UNHCR).

 

Berdasarkan konvensi dan peraturan mengenai pengungsi, ksebagai pengungsi tidak berlaku abadi artinya bisa berhenti, persoalan yang timbul adalah jangan sampai pengungsi itu bisa dirugikan statusnya sebagai pengungsi secara sewenang-wenang. Oleh karena itu penghentian status pengungsi harus didasarkan pada ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Konvensi. 

 

Adapun yang menjadi hak dan kewajiban pengungsi adalah Mengenai status pribadi para pengungsi diatur sesuai dengan hukum dimana mereka berdomisili. Jika mereka tidak mempunyai domisili, status pribadi mereka diatur oleh hukum dimana mereka ditempatkan (place of residence). Dari hal ini dapat terlihat bahwa meskipun suatu negara tidak menytuji konvensi pengungsi, akan tetapi pengungsi tetap memiliki hak untuk mendapatkan perlindungan dan keamanan. Hal ini sendiri dapat terlihat dari apa yang dilakukan Indonesia terhadap pengungsi Myanmar. Padahal Indonesia menjadi salah satu yang belum menandatangani konvensi tentang status pengungsi.

 

Adapun sebagai wujud dalam pengimplementasian kebijakan luar negeri Indonesia untuk krisis pengungsi di Rohingya ini menggunakan bentuk diplomasi kemanusiaan. Namun uniknya, dibalik diplomasi tersebut melibatkan peranan perempuan sebagai pembuat kebijakan yaitu Retno Marsudi. 

Halaman:

Editor: uki-Berau Post

Rekomendasi

Terkini

Safari Ramadan Kukar, Serahkan Manfaat JKM

Kamis, 28 Maret 2024 | 11:29 WIB
X