PERNAH merasakan tidur dengan hanya beralaskan tikar. Tikar yang dibuat dari anyaman daun pandan dan anyaman purun.
Sering mendengar teman saya yang asal Banjar, menyebut tikar purun. Bukan daun pandan, tapi sejenis tumbuhan di rawa atau sungai.
Di desa Tanggul, Banjarmasin, kini lebih dikenal dengan sebutan kampung purun. Semua warga menekuni anyaman purun. Maka, ada sebutan tikar purun.
Sejak ada ambal dan tikar plastik, sangat jarang lagi kita menggunakan tikar pandan. Termasuk tikar purun.
Lalu sejak kapan istilah ‘gulung tikar’ itu populer. Sebutan itupun dikaitkan dengan orang atau perusahaan yang kehabisan modal atau mendekati bangkrut.
Tidak hanya itu. Gulung tikar itu sering menjadi istilah yang berkonotasi tak nyaman.
Terus, kenapa anggota DPRD mengkhawatirkan PLTU Lati bisa gulung tikar?
Mungkin ia melakukan hitung-hitungan bisnis antara PLTU dan PLN. Antara perusahaan negara dan perusahaan daerah.
Memang ironis. PLTU Lati yang sahamnya juga dimiliki oleh anak perusahaan PLN, Indonesia Power, seharusnya bisa memuluskan tawar-menawar kontrak penjualan setrum.
Justru penjualan setrum itu yang jadi poin persoalannya. PLTU Lati melalui Indo Pusaka Berau, ingin melebarkan bisnisnya. Salah satu syaratnya adalah PLTU Lati harus punya kontrak jangka panjang dengan PLN terkait Power Purchase Agreement (PPA).
Sisi lain, PLN hanya memberikan kontrak tahunan saja. Harganya juga masih dianggap terlalu murah. Mungkin dari sinilah terlihat oleh anggota DPRD ada potensi PLTU Lati gulung tikar.
Ada pertimbangan teknis, sehingga kontrak jangka panjang itu belum terealisasi. Terkait kondisi pembangkit yang sudah uzur. Produksi listriknya sudah tidak maksimal.
PLN sedikit berbusung dada, karena dia juga punya PLTU di Teluk Bayur. Menjadi dilema bagi PLTU Lati. Istilahnya maju kena mundur kena.
Bagus juga sebetulnya isyarat yang diberikan anggota DPRD itu. Memberikan sinyal bagi manajemen PLTU Lati untuk segera melakukan efisiensi.