Melawan Jin

- Jumat, 25 November 2022 | 14:12 WIB
-
-

NAMANYA Bagong. Perantau asal Makassar. Sehari-hari berjualan sayur di Pasar Sanggam Adji Dilayas. Ia menyebut dirinya ‘komandan’ di antara para pedagang.

Karena pernah bertetangga, ia leluasa saja di rumah saya. Ia bisa masuk tanpa wajib ketuk pintu. Sekali waktu, ia datang sambil berteriak. Memang ia harus berteriak, pintu pagar masih terkunci.

Sambil tersenyum dan menggaruk kepala yang tak gatal, menyodorkan ikatan buah kelor di tangannya. Ada tujuh batang buah kelor yang panjangnya sekitar 20 sentimeter. “Harga kelor Rp 30 ribu, ongkos bensin Rp 20 ribu,” kata Bagong sambil tersenyum.

Tak masalah. Saya memang selalu pesan. Kalau ada buah kelor, bawakan ke rumah. Rupanya hari itu, ada pedagang sayur yang asal Palu, Sulawesi Tengah. Tidak setiap saat ada. Jadi buah kelor itu, termasuk buah yang langka.

Kalau daunnya, banyak penjual sayur yang menawarkan. Di pasar Jalan Manunggal juga ada. Buahnya yang belum dihasilkan dari lokal. Masih harus menunggu pasokan dari Palu.

Memang ada kenangan sendiri dengan buah kelor itu. Sejak kecil, saya suka dimasak sayur asam bersama buah sukun. Nikmatnya luar biasa. Dan lauknya dengan ikan asin atau ikan bakar, plus sambal terasi.

Karena nikmat itu, ada tiga pohon kelor yang berdaun lebat, tumbuh di halaman. Sebetulnya berharap ada buahnya. Ada pesan teman, kalau mau berbuah, jangan diambil daunnya. Sayapun mematuhi. Tapi, tak bisa menolak, bila ada ibu-ibu yang datang meminta daun kelor. Kalau demikian sampai kapanpun, tak bisa menghasilkan buah.

Setiap hari, istri saya bertanya. Santap siang minta dibuatkan sayur apa. Jawaban saya singkat saja. Daun kelor dimasak dengan kacang hijau. Istri saya senyum-senyum. “Kelor lagi, kelor lagi,” kata dia.

Makanya, ketika Pak Junaidi, Kapala Dinas Pertanian, mengundang investor yang akan berinvestasi industri daun kelor, saya senyum-senyum. Itu tidak sulit. Imbau saja masyarakat untuk menanam di rumahnya masing-masing. Tak perlu disediakan lahan, hanya untuk pohon kelor. Kalau juga perlu lahan, mungkin lahan tidur yang tidak terpakai.

Bisa dilakukan ‘kampanye’ menanam pohon kelor, akan ada investor siap menampungnya. Proses menanamnya tidak ribet. Cukup menancapkan batangnya di tanah, dijamin tumbuh subur. Seperti yang saya lakukan di pojok halaman rumah.

Kampanye menanam kelor di pulau terluar yang katanya sebagai daerah rawan pangan. Di daerah pesisir demikain juga. Di pulau dan wilayah pesisir, pohon kelor sangat mudah untuk tumbuh.

Soal industrinya, di Jawa sudah ada yang mengusahakan. Saat liburan, istri saya ke salah satu kota di Jawa Timur. Oleh-oleh yang dibawa, di antaranya daun kelor yang sudah dikeringkan. Dikemas rapi. Setiap pagi, mengambil beberapa lembar direndam ke dalam air panas. Jadilah minum teh daun kelor.

Cukup merasakan manfaatnya. Yang paling terasa, tak perlu keluar uang untuk membeli. Tinggal memetik beberapa tangkai, jadilah sayur daun kelor untuk dikonsumsi setiap hari. Menu mewah untuk ukuran saya.

Daun kelor yang sudah sejak lama dianjurkan oleh lembaga kesehatan dunia untuk dikonsumsi. Karena mengandung berbagai khasiat. Kandungan nutrisinya cukup tinggi.

Halaman:

Editor: uki-Berau Post

Tags

Rekomendasi

Terkini

Pemkot Balikpapan Didesak Fasilitasi Pom Mini

Kamis, 25 April 2024 | 10:00 WIB

HIMASJA Soroti Dugaan Pungli PTSL di Samboja

Rabu, 24 April 2024 | 09:37 WIB

Stadion Batakan Segera Dilengkapi Lapangan Latihan

Selasa, 23 April 2024 | 13:22 WIB

BPKAD Proses Hibah Lahan Perum Bumi Sempaja

Selasa, 23 April 2024 | 10:00 WIB
X