Sarang Burung

- Selasa, 29 November 2022 | 12:44 WIB
-
-

PEROLEHAN medali di arena porprov, tidak terlalu menarik bagi warga dibanding demam Piala Dunia Qatar. Begitupun penjual kopi di tepian sungai, ikut menggelar nonton bareng.

Saat Jerman berhadapan dengan Jepang, saya di antara puluhan penonton di warung milik Saparudin. Ikut menyaksikan bagaimana serunya nonton di area terbuka. Tak ada fanatisme negara mana yang didukung.

Ketika pemain Jerman melakukan penyerangan dan nyaris membuahkan gol, di situ pula suara penonton serentak menggelegar. Sebaliknya, saat Jepang berhasil menyarangkan bola ke gawang Jerman, saya dan penonton lainnya ikut berteriak.

Rupanya, di antara banyak penonton itu, ada juga teman-teman dari beberapa instasi yang tergabung dalam satu tim. Bukan tim nonton bareng. Tapi, tim yang bersama-sama melakukan pendataan pedagang sepanjang tepian Sungai Segah.

Sahabat saya, Pak Said yang jadi ketua tim. Menelisik semua pedagang yang berjualan di kawasan itu. Sayapun berbincang lama, bagaimana mengelola dan membina para pedagang yang setiap malam dengan setia berjualan.

“Memang harus ditata dengan baik,” kata Said. Setuju dengan kalimat itu. Memang harus ditata, mulai apa yang dijual, bagaimana kualitasnya, bagaimana penggunaan air bersihnya. Bagimana agar mereka tidak membuang sampah ke sungai. “Yang penting, bagaimana bayar pajaknya,” kata Pak Said sambil tertawa.

Soal potensi pendapatan inilah yang ditelusuri kembali oleh tim yang dipimpin Pak Said. Sayapun memberikan gambaran, kalau para pedagang itu sangat patuh. Apalagi terkait dengan kewajibannya.

Penghasilan mereka fluktuatif. Saat akhir pekan tiba, pengunjung banyak bisa membuat pedagang tersenyum. Ada saat mereka tak menghasilkan apa-apa. Apalagi di musim penghujan seperti sekarang.

Para pedagang itu, setiap malam harus memikirkan bagaimana membayar listrik, membayar air bersih, dan membayar petugas yang membawa gerobak mereka, usai berjualan. Juga bagaimana membayar biaya hidupnya.

Itu kenyataan yang dihadapi para pedagang yang sudah puluhan tahun berjualan di situ. Ada yang sudah berganti generasi. Kalau dulu yang jualan bapaknya, sekarang digantikan anaknya.

Pak Said mengaku, memungut pajak dari para pedagang di sepanjang tepian sungai maupun rumah makan lainnya, tidaklah sulit. “Kita juga punya pertimbangan yang tidak memberatkan pedagang,” kata Pak Said.

Terus, pasti ada yang sulit? Pak Said tersenyum. Berau ini tekenal dengan penghasil sarang burung walet alam dan rumahan. Yang rumahan, belum seluruhnya berhasil. Tapi yang didapatkan dari alam, ini yang kita sedang jajaki terkait pungutan pajaknya.

Memang harus membangun jaringan, dalam mendapatkan angka hasil yang didapatkan setiap panen. Begitupun, hasil yang diantarpulaukan. Bisa saja membangun kerja sama dengan balai karantina di bandara. Tapi, sulit melacak yang membawa sarang burung lewat jalur darat ke Samarina atau Balikpapan.

Di satu sisi, dalam meraih pendapatan asli daerah, sudah ditetapkan. Setidaknya Pak Said bersama tim, harus bekerja keras memenuhi target yang ditetapkan itu. Kalau angkanya pada Rp 90 miliar. Di angka itu harus terpenuhi sebelum tutup buku di bulan Desember.

Halaman:

Editor: uki-Berau Post

Tags

Rekomendasi

Terkini

Dishub PPU Desak Pemprov Bangun Terminal Tipe B

Sabtu, 27 April 2024 | 10:30 WIB

DPRD Berau Soroti Ketahanan Pangan

Sabtu, 27 April 2024 | 08:57 WIB

Kampus dan Godaan Rangkap Jabatan

Sabtu, 27 April 2024 | 08:44 WIB

Camat Samboja Barat Tepis Isu Dugaan Pungli PTSL

Kamis, 25 April 2024 | 18:44 WIB

Sembilan Ribu Anak di PPU Diberi Seragam Gratis

Kamis, 25 April 2024 | 18:00 WIB
X