Problematika Hybrid Contract Antara Pemasok Ikan dan Nelayan

- Sabtu, 21 Januari 2023 | 18:55 WIB

MASYARAKAT nelayan tergolong kelompok yang relatif tertinggal secara ekonomi apabila dibandingkan kelompok masyarakat lain.

Kota Balikpapan merupakan daerah yang mempunyai potensi kelautan dan perikanan yang cukup besar, dan bisa memainkan peran strategis dalam menopang dan membangun fondasi ekonomi kota yang kuat. Sektor kelautan dan perikanan tersebut menjadi salah satu komoditas khas unggulan di Kota penyangga Ibu Kota baru ini. Wilayah budi daya sumber daya yang terbarui (renewable resources) ini terletak di wilayah pesisir laut Kota Balikpapan daerah Kariangau hingga Manggar, Teritip sampai ke Lamaru.

Wilayah pesisir Manggar didominasi oleh masyarakat dengan mata pencarian sebagai nelayan. Masyarakat nelayan tergolong kelompok yang relatif tertinggal secara ekonomi apabila dibandingkan kelompok masyarakat lain. Kondisi tersebut ditandai oleh beberapa ciri, seperti kemiskinan, keterbelakangan sosial-budaya, dan rendahnya sumber daya manusia (Fatmasari, 2014).

Taraf hidup nelayan bisa dikatakan “lesu perekonomiannya”, salah satu penyebab karena kurangnya modal yang dimiliki untuk melaut. Maka para nelayan meminjam modal (uang) kepada pemasok ikan yang siap memberikan modal sebelum nelayan mencari ikan.

Ditinjau dari perspektif hukum Islam, transaksi antara pemasok ikan (pemberi pinjaman) dengan nelayan (peminjam), merupakan pengaplikasian bentuk akad qardh (utang piutang). Akad qardh merupakan pemberian harta kepada orang lain yang dapat ditagih, atau dengan perjanjian akan dikembalikan atau akan membayar yang sama dengan utangnya tersebut. Akad qardh bersifat tabarru’ yaitu akad yang didasari dengan ta’awwun atau tolong-menolong, sehingga dalam akad ini tidak dibenarkan mengambil manfaat dari para peminjam, karena bisa menjerumuskan ke dalam riba.

Pemasok ikan memberikan pinjaman modal kepada nelayan dengan syarat harus menjual hasil melaut kepada pemasok ikan. Jika hasil melaut tidak mencukupi untuk membayar utang atau modal, maka pemasok ikan memberi keringanan dengan menunggu hasil melaut berikutnya. Para pemasok ikan beranggapan, bahwa transaksi pinjaman modal tersebut adalah pinjaman modal tak bersyarat. Ketika ditinjau kembali, transaksi tersebut mengandung syarat yang dapat diterima oleh kedua pihak dengan sukarela.

Bagi nelayan, akad pinjaman modal ini sangat membantu karena mudah dalam praktiknya. Nelayan cukup menelepon kepada pemasok ikan dan meminta modal, maka modalnya akan ditransfer oleh pemasok ikan. Jika nelayan belum bisa mengganti modal maka akan tercatat sebagai utang, dan pemasok ikan tetap memberikan pinjaman modal untuk digunakan nelayan melaut berikutnya.

Itulah alasan terkuat mengapa para nelayan lebih memilih meminjam kepada pemasok ikan daripada meminjam uang di bank atau koperasi, yang urusannya dianggap repot terlebih karena adanya bunga yang relatif besar. Selain itu, karena adanya perjanjian antara nelayan dengan pemasok ikan, sehingga nelayan merasa dimudahkan untuk menjual hasil melautnya, pemasok ikan pun merasa terbantu karena mendapat pemasukan ikan yang banyak.

Akad qardh dilakukan dengan perjanjian secara lisan dan saling percaya antara pemasok ikan dan nelayan, sehingga tidak ada perjanjian secara tertulis yang dapat mengikat keduanya secara hukum. Akad pinjaman modal bersyarat ini berakhir apabila nelayan telah melunasi pinjaman modalnya, selama pinjaman modal tersebut belum terbayar secara lunas, maka perjanjian antara pihak pemasok ikan dan nelayan masih berlangsung.

Praktik pinjaman modal (qardh) masyarakat nelayan di Kelurahan Manggar dianggap baik oleh masyarakat setempat, karena pemasok ikan dan nelayan merasa saling diuntungkan. Dengan sistem saling rida antara kedua pihak, praktik tersebut telah ada sejak lama dan sudah menjadi kebiasaan (urf) masyarakat nelayan.

Syarat-syarat urf dijadikan sebagai landasan hukum apabila kebiasaan tersebut berlaku secara umum, dianut oleh mayoritas masyarakat tertentu, berlaku sejak lama, dan tidak bertentangan dengan dalil qath’i. Ulama Hanafiyahh dan Malikiyah berpendapat bahwa setiap akad qardh yang mendatangkan manfaat itu riba ketika mengandung syarat, serta dapat menjadikan akad qardh tidak sah.

Berdasarkan kaidah di atas, transaksi antara pemasok ikan dan nelayan termasuk riba. Menurut Rafiq Yunus al-Mishri dalam Kitab Fiqih Islam Wa Adillatuhu karya Wahbah Az-Zuhaili mengungkapkan, bahwa syuftajah termasuk riba halal. Syuftajah merupakan pengambilan manfaat qardh bukan dalam bentuk materi. Transaksi antara pemasok ikan dan nelayan tidak mengandung tambahan secara materi namun mengandung manfaat yang diprasyaratkan.

Perbedaan pendapat hukum syuftajah terjadi di kalangan ulama. Pendapat yang membolehkan atas transaksi syuftajah karena pihak yang berutang merasa dapat manfaat. Jadi kedua belah pihak mendapatkan manfaat (Majmu Fatawa 29/455-456) [Diolah dari Qawaid al Buyu’ wa Faraid al Furu’ karya Walid bin Rasyid al Saidan hal 12-14].

Pada praktiknya, pemasok ikan mensyaratkan kepada nelayan untuk menjual seluruh hasil melaut kepadanya. Sehingga, terjadilah penggabungan akad dalam istilah bahasa Inggris disebut hybrid contract, yaitu akad pinjaman (qardh) dan akad jual beli (ba’i). Contoh hybrid contract tersebut hukum akadnya dilarang dalam agama Islam. Larangan menghimpun qardh dan ba’i dalam satu akad untuk menghindari terjerumus kepada riba yang diharamkan.

Halaman:

Editor: uki-Berau Post

Tags

Rekomendasi

Terkini

Penerimaan Polri Ada Jalur Kompetensi

Jumat, 19 April 2024 | 14:00 WIB

Warga Balikpapan Diimbau Waspada DBD

Jumat, 19 April 2024 | 13:30 WIB

Kubar Mulai Terapkan QR Code pada Pembelian BBM

Jumat, 19 April 2024 | 13:00 WIB

Jatah Perbaikan Jalan Belum Jelas

Jumat, 19 April 2024 | 12:30 WIB

Manajemen Mal Dianggap Abaikan Keselamatan

Jumat, 19 April 2024 | 08:25 WIB

Korban Diseruduk Mobil Meninggal Dunia

Jumat, 19 April 2024 | 08:24 WIB

Mulai Sesak..!! 60 Ribu Pendatang Serbu Balikpapan

Jumat, 19 April 2024 | 08:19 WIB
X