PERUSAHAAN penerbangan milik Hongkong, membagikan tiket gratis untuk berkunjung ke Hongkong. Indonesia dapat jatah tiket belasan ribu.
Itu salah satu kampanye yang dilakukan dalam menghidupkan pariwisata. Giveaway dalam rangka kampanye bertajuk Hello Hongkong diluncurkan oleh Hongkong Tourism Board pada Februari lalu. Semata-mata untuk mempromosikan pariwisata Hongkong.
Kapan dimulainya? Untuk Indonesia pembagian tiket gratis itu mulai 15 Maret sampai 21 Maret. Syaratnya sederhana, di antaranya penduduk Indoensia yang sudah berusia 18 tahun ke atas.
Di warung pojok Sabtu (25/2) pagi, bukan promosi wisata yang digalakkan Hongkong yang dibicarakan. Yang dibahas, aksi demo pemuda yang memprotes pelayanan PLN yang berlangsung dalam sepekan.
Ada yang perlu dijelaskan. Baik PLN maupun PLTU sebagai penyuplai setrum. Bukan hanya pada soal kontrak antara PLTU dan PLN yang sudah berakhir. Juga bukan semakin beratnya operasional PLTU yang harus membeli batu bara.
Tapi, bagaimana sebetulnya kondisi yang ada di pusat pembangkit PLTU di Lati. Dari sekian mesin yang dimiliki, berapa produksi listrik yang mampu disalurkan dan diterima di pusat distribusi PLN.
Begitupun PLN. Harusnya dijelaskan, seberapa banyak kekuatan yang dimiliki, sehingga sangat bergantung dengan PLTU. Berapa kekuarangan listrik bila PLTU shut down karena pemeliharaan. Ini yang perlu disampaikan.
Apakah PLN harus menyewa mesin pembangkit dalam mengatasi situasi tersebut. Yang akhirnya menimbulkan gejolak di masyarakat. Sampai-sampai, bupati turun tangan dengan membuat surat ke PLN. Banyak yang pesimistis dengan upaya itu.
Kita tentu masih ingat. Perusahaan perkebunan yang mengoperasikan mesin pengolah buah sawit menjadi CPO, sekaligus menghasilkan listrik dari boiler pembangkitnya. Sudah sejak lama melakukan kerja sama dengan PLN yang membeli kelebihan listrik perusahaan tersebut. Ini sangat membantu PLN.
Persoalannya sama dengan PLTU. Bila mesin berhenti sementara memproduksi CPO karena kurangnya TBS, otomatis pasokan setrum ke PLN juga menjadi terhenti. Sehingga, di wilayah kerja sama itu, PLN juga masih harus menyiapkan mesin pendukung.
Ada pengunjung warung pojok, berkelakar menyebutkan kalau Pemkab kan cukup banyak uang. Mengapa tidak membelikan saja dua unit mesin, yang mampu menghasilkan setidaknya 1 MW. Dengan begitu, wilayah yang padam tidak terlalu luas. Seperti yang dilakukan Pak Makmur dulu.
Di tengah perbincangan soal carut marut pasokan listrik PLN, saya mendapat kiriman Podcast. Tidak tanggung-tanggung, yang mengirimkan langsung dari Pak Osman Sapta Odang (OSO). Ketua Umum Partai Hanura.
Saya jelas tersanjung. Saya yakin, yang dikirimi podcast yang diasuh Akbar Faisal mantan anggota DPRD-RI asal Sulawesi Selatan itu adalah kalangan relasi Pak Oso. Orang-orang penting. Jadi sayapun termasuk orang yang penting untuk melihat Podcast itu.
Setelah saya mengikuti sejak awal hingga akhir. Saya pun, mengirimkan pesan WA ke nomor pribadi Pak Oso. Saya sampaikan tidak terlalu mencermati kisahnya. Tapi, yang saya perhatikan, fisik Pak Oso yang kian bugar. Sehat, dengan tawa khasnya.
Saya ingat, sebelum Covid-19 atau sekitar tiga tahun lalu. Saya pernah berbincang langsung dengan Pak Oso di teras rumahnya. Ia berbaju putih. Nampak lelah dan terlihat memang sedang sakit.
Saya sakit sikra, begitu kata Oso pada saya. Ia pun menyebutkan bagian organ tubuhnya yang bermasalah. Saya berencana tranplantasi ginjal, kata dia. Saya pun berkelakar untuk mencari ginjal milik anak muda. Dia ketawa.
Apa di Tiongkok berobatnya? tanya saya. Tidak perlu ke luar negeri. Di Indonesia sudah sangat canggih kalau hanya urusan itu. Setelah itu, saya tak pernah komunikasi lagi dengan Pak Oso. Maklum, Covid melanda.
Di saat Podcast dengan Akabr Faisal, disitulah Oso menyebut, kalau sudah menjalani proses ganti ginjal seperti yang diceriterakan beberapa tahun lalu kepada saya di teras rumahnya di Jakarta. @cds_daengsikra (*/sam)