BANDARA Kalimarau sedang berhemat. Terlihat angka petunjuk 30 warna merah di salah satu dinding ruang keberangkatan. Maknanya, embusan pengatur udara disetel di angka 30.
Dengan begitu akan terasa suhu udara tidak terlalu dingin. Kebetulan, saya suka dengan udara yang tidak terlalu dingin. Bagaimana dengan yang lain. Maksudnya calon penumpang lainnya.
Karena alasan itu, dipasanglah kipas angin turbo yang menimbulkan suara mendesis. Tugasnya, membantu kerja pengatur suhu udara. Jadi, di dalam ruangan yang luas. Bercampur antara dinginnya pengatur udara 30 derajat dan embusan kipas angin turbo.
Tidak terdengar satupun penumpang yang mengeluh. Ataupun, mengipas-ngipaskan sesuatu ke arah tubuhnya menandakan kepanasan. Mereka asyik saja memainkan berbagai fitur di HP-nya. Dengan sabar menanti tibanya pesawat. Seperti saya juga, tetap sabar. Menikmati situasi di ruang tunggu keberangkatan bandara.
Saya yakin, manajemen Bandara Kalimarau sedang malakukan penghematan. Berhemat biaya listrik. Salah satu yang banyak menyedot biaya operasional bandara. Bandara punya pembangkit listrik bertenaga surya. Sayangnya tak mampu memasok seluruh kebutuhan listrik di kawasan bandara.
Dulu memang tidak sehemat seperti sekarang. Dulu, ada pesawat berbadan lebar terbang dari dan ke Kalimarau. Penumpangnya juga banyak. Sekarang, semuanya terbalik. Hanya ada dua maskapai yang menerbangkan pesawat berbaling-baling jenis ATR.
Karena sedikit itulah, berpengaruh pada penghasilan bandara. Sementara biaya yang harus dikeluarkan untuk operasional peralatan navigasi terbilang besar. Saya mengira-ngira, pengelola bandara sedikit pusing. Atau bisa juga, pusing sekali.
Kantin dan penjual oleh-oleh terpaksa diajak untuk ikut berhemat listrik. Pengatur udara (AC) berkekuatan 1 PK, diminta untuk ‘shut down’. Diganti dengan kipas angin saja. Atau ikut dengan udara yang ada di ruang tunggu di lantai dua.
Sementara kita tahu, Bandara Kalimarau itu dipersiapkan sebagai bandara internasional. Punya tiga belalai (Garbarata) yang harus dipelihara dan dirawat. Inipun butuh biaya yang lumayan besar.
Ada yang harus dijaga dengan baik. Bandara Kalimarau, telah mencatatkan dirinya sebagai bandara terbaik. Ini reputasi nasional. Banyak penghargaan berupa trofi dan piagam penghargaan terpajang di ruang tengah. Itu sebagai bukti, kesungguhan manajemen dalam memberikan layanan dan mengelola bandara dengan baik.
Sampai hari inipun saya bertanya-tanya. Mengapa pesawat berbadan lebar itu, enggan lagi terbang kembali ke Kalimarau. Seperti yang dulu-dulu. Penumpangnyakah yang sedikit, atau ada persoalan lain.
Pernah dikabarkan, akan masuk maskapai Super Air Jet. Sayapun tersenyum, apa iya, mau bersaing dengan ‘saudara tuanya’. Yang sama-sama dari satu perusahaan. Sampai sekarang juga belum nampak.
Pemkab yang merasa kelimpungan dengan tingginya harga tiket, pernah punya ide ‘block seat’. Boleh saja, agar wisatawan bisa datang. Agar tiket bisa terjual murah. Tapi, sampai kapan bisa bertahan. Bisa saja dicoba pada maskapai yang pernah terbang ke Kalimarau.
Kenapa bukan Garuda yang pernah masuk dengan pesawat Bombardir dan Boeing-NG300. Kenapa bukan Citilink. Kenapa Sriwijaya dengan tagline ‘ Your Flying Partner’ tak mau terbang lagi ke Kalimarau menemui para partnernya.
Maunya saya dan maunya orang banyak, kalau pesawat besar masuk, harga tiket lebih enteng. Tak ada pilihan. Saat akan berangkat ke Balikpapan, dan teman saya di bandara menyebut harga tiket. Saya tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Tak ada pilihan.
Saya berangkat dengan harga tiket Rp 1,5 juta tujuan Balikpapan. Tak ada pilihan. Seperti penumpang lainnya, yang juga tak punya pilihan lain. Harus terbang mengikuti tarif yang ada.
Bagaimana pulangnya ke Berau? “Yang pagi harga Rp 1,5 juta, siang sedikit Rp 1,8 juta Pak Daeng,” kata Agus Derita. Sahabat saya yang sudah kenal sejak bandara lama. Dia menyebut angka sambil tertawa. “Saya ambil yang siang sedikit saja,” kata saya.
Itu berarti, harga tiket pulang ke Berau Rp 1,8 juta. Banyak peserta MTQ yang ikut dalam penerbangan pukul 09.00 Wita dari Balikpapan. Di kafe yang menjual mantau, sambil menunggu penerbangan. Jumpa dengan penumpang yang akan ke Makassar.
“Berapa harga tiket ke Makassar?” tanya saya. “Enam ratus ribu lebih sedikit,” jawabnya. Saya tidak melanjutkan pertanyaan saya lagi. Hanya di kepala yang menghitung angka seperti kalkulator. @cds_daengsikra. (*/udi)