Esensi Sungai Hilang ketika Kiri-Kanan Dibeton

- Selasa, 23 Mei 2023 | 15:25 WIB
PEDULI LINGKUNGAN: Misman sudah aktif terhadap isu lingkungan sejak 2005 lalu.
PEDULI LINGKUNGAN: Misman sudah aktif terhadap isu lingkungan sejak 2005 lalu.

Misman menjadi satu di antara 20 orang yang masuk nominasi penerima Kalpataru 2023. Sebuah penghargaan dari pemerintah yang diberikan kepada orang yang berjasa memelihara kelestarian lingkungan hidup.

 

ADA 348 orang dari penjuru Tanah Air berpeluang meraih penghargaan kalpataru yang terbagi dalam empat kategori. Yakni Perintis Lingkungan, Pengabdi Lingkungan, Penyelamat Lingkungan, dan Pembina Lingkungan. Misman, masuk nominasi kategori Perintis Lingkungan. “Prosesnya melewati tiga tahap. Mulai pemberkasan, kemudian uji tanya jawab lewat virtual, baru diverifikasi di lapangan oleh tim juri,” ungkapnya kepada Kaltim Post, Jumat (19/5).

Selama ini, pria kelahiran Samarinda 1959 itu dikenal aktif terhadap isu lingkungan di Sungai Karang Mumus. Tepatnya sejak 2005. Namun, baru pada 2015, kegiatannya mulai dikenal publik. “Dulu sendirian, sambil mengedukasi. Tapi setelah viral lewat media sosial itu, akhirnya mendapat respons dari berbagai pihak. Mulai masyarakat di Samarinda, Pulau Jawa, sampai yang dari luar negeri, ada Prancis, Swedia, dan Amerika,” sambungnya.

Misman menegaskan, manusia tidak bisa hidup tanpa air. Adapun Samarinda, sambung dia, sumber air berada di Sungai Karang Mumus dan Sungai Mahakam. Diakuinya, dulu ada saja orang yang mencibirnya kenapa harus susah payah mengurus Sungai Karang Mumus yang merupakan anak Sungai Mahakam. “Padahal tanpa anak sungai, Sungai Mahakam tidak akan ada airnya. Karena itu kita perlu merawat anak sungai yang ada,” katanya.

Disebut Misman, Sungai Karang Mumus telah dijadikan tong sampah sejak 30 tahun lalu, sehingga perlu perhatian agar sungai yang membelah Kota Samarinda sepanjang 15 kilometer kembali bersih. Semenjak kegiatannya populer pada Medio 2015, Awang Faroek Ishak, gubernur Kaltim kala itu, mulai tertarik. Hingga akhirnya instansi pemerintah kota hingga provinsi mulai ikut membantu aktivitasnya.

Misman mengaku tidak sependapat jika aliran Karang Mumus disebut sungai. Sebab, konsep sungai, ucap dia, adalah rahmatan lil alamin, untuk semua makhluk hidup.

“Kalau dibeton kiri-kanan namanya kanal. Karena hanya untuk kepentingan manusia sendiri, tidak flora dan fauna,” sebut pria yang sering memberikan materi soal lingkungan di forum-forum resmi. Misman membeber, dari total 15 kilometer panjang Sungai Karang Mumus, sudah hampir separuh yang dibeton. Sebab itu, dia berharap upaya penurapan sepadan sungai tidak lebih ke hulu lagi.

“Saat ini dunia mempermasalahkan dengan perubahan iklim yang drastis, karena lingkungan. Membangun bumi atau alam tergantung pengetahuan, bumi diberi Tuhan tidak hanya untuk manusia, tapi hewan dan tumbuhan,” tegasnya. Dia mengatakan, kalau membangun bumi ditekankan kepada kepentingan manusia, maka buaya mati, biawak mati, orang hutan mati, kepiting tidak punya rumah, ikan pun tidak punya rumah.

“Karena tekanannya kepada manusia, semua mati enggak masalah yang penting manusia hidup. Tapi kalau ingin berbagi dengan makhluk lain, maka seperti yang dilakukan Eropa dengan mempertahankan alam,” ungkapnya. Dia menambahkan, Eropa membagi tempat untuk makhluk lain agar bisa hidup. Disiapkan rumah khusus burung, hutan untuk habitat tertentu dan lain sebagainya. “Misalnya menangkap ular di kota, maka akan dipindahkan ke tempatnya yang sudah disediakan khusus,” ungkap ayah dua anak itu.

Menurut dia, kebijakan pembangunan di Samarinda dan Indonesia, lebih kepada kepentingan manusia. Jadi, sungai-sungai lebih banyak dibeton dan tidak memberikan ruang hidup untuk makhluk lain. “Itu sebuah pilihan dan tidak bisa disalahkan. Penting mana sih, manusia dengan buaya, akhirnya itu yang jadi pertanyaan,” tuturnya.

Lanjut dia, konsep pembangunan pemerintah selama ini dikenal ada dua. Yakni green city dan forest city. Konsep pertama, menurutnya asal hijau. Apapun ditanam asal green. “Tapi perlu diketahui lahan Anda tanam pohon trembesi itu hijau. Tapi orang hutan tidak bisa hidup di dalamnya, yang bisa hidup hanya manusia. Tapi forest city itu lumayan hutan, tapi sepengetahuan saya manusia tidak ada satu pun yang bisa membangun hutan maupun sungai,” katanya.

Dia memaparkan, hutan dalam diameter 1 hektare terdapat ratusan bahkan ribuan spesies. Tapi kalau kebun, ratusan hektare hanya ada dua spesies. “Artinya kalau hutan dijadikan kebun, maka ada ribuan spesies yang mati. Hutan itu harusnya bukan homogen tapi heterogen, ada bermacam-macam makhluk hidup di dalamnya,” tegas Misman. (riz/k16/jpg/sam)

Editor: uki-Berau Post

Tags

Rekomendasi

Terkini

Stadion Batakan Segera Dilengkapi Lapangan Latihan

Selasa, 23 April 2024 | 13:22 WIB

BPKAD Proses Hibah Lahan Perum Bumi Sempaja

Selasa, 23 April 2024 | 10:00 WIB

SIC Bersedia Biayai Waterfront City

Selasa, 23 April 2024 | 08:30 WIB

Lima SPBU di Kutai Barat Wajibkan QR Barcode

Senin, 22 April 2024 | 20:00 WIB

SIC Bersedia Biayai Waterfront City

Senin, 22 April 2024 | 16:00 WIB

Pemilik Rumah dan Ruko di Paser Diimbau Punya Apar

Senin, 22 April 2024 | 12:30 WIB
X