KALAU ada bahasa mana cukup, ketika ibu-ibu diberi uang belanja ke pasar. Itu sangat beralasan. Kita selaku pemegang kas, jangan merengut. Apalagi ngomel.
Sabtu (28/5) malam lalu, saya belanja di pasar Manunggal. Kebetulan cuaca tidak menarik untuk berada di luar rumah. Mau masak-masaklah ceritanya. Ada dua asesori yang saya perlukan. Sayur sawi dan buah tomat.
Ke pasar lah saya. Sayur yang dipajang penjualnya, nampak masih segar. Mungkin baru diantar petaninya atau baru berbelanja di pasar subuh di Adji Dilayas. "Berapa harga sawi seikat?" tanya saya. "Dua puluh dua ribu pak," kata penjualnya.
Yang jual cantik. Mungkin karena malam minggu. Awalnya tertarik untuk memandang sejenak. Sayangnya tidak ada senyum manisnya, saya jadi urungkan untuk memandang lama-lama.
Saya pegang sayur sawi yang ikatannya besar. Dalam hati, mahal juga. Saya membayangkan, bila ibu-ibu yang berbelanja, pasti sudah behimat menawar. Setuju saja dengan harga itu. Untuk tomatnya, saya tidak tanya harga per kilogramnya. Saya hanya pesan Rp 5.000. Jadi sayur dan tomat, harus keluar biaya Rp 27 ribu.
Di rumah, saya hitung ikatan besar sayur sawi itu. Ada sepuluh banyaknya. Tidak keberatan dengan harganya. Yang saya pikir, mengapa tidak jual dalam ikatan kecil. Sehingga pelanggan bisa beli Rp 5.000 atau Rp 3.000 saja.
Padahal, saya hanya mau buat mi rebus di rumah. Agar terlihat menarik, asesorinya ada tomat dan sayur sawinya tak ketinggalan telur. Seperti yang ditawarkan Sunari, di warung mie kuah di Jalan Gajah Mada.
Tengah malam, sebelum mati lampu karena hujan lebat, saya nikmatilah mi rebus buatan sendiri. Lebih nikmat dari buatan Sunari. Lebih nyaman dari olahan warung mi di Jalan Panglima Batur. Bahkan lebih terasa dari mi kuah yang di buat di warung pojok. Makanlah saya, sambil membayangkan harga sayur sawi yang Rp 22 ribu seikat itu.
Minggu pagi (28/5) kemarin, ada ibu-ibu dengan wajah sedih. "Tolong aku Pak Sikra?" kata ibu-ibu yang naik motor besar membawa dua orang anaknya. "Kenapa bu?" tanya saya. "Aku ini sudah tiga hari sakit," lanjutnya.
Sebabnya apa? Ia pun bercerita. Beberapa kali lewat di depan rumah saya, Ia terlihat pohon Sawu Manila yang ada di halaman rumah. Ia melihat banyak buahnya. Sempat meminta ke suaminya untuk meminta. Pagar rumah tertutup rapat.
Mungkin karena kepuhunan, sehingga saya sakit pak, kata dia. Kepuhunan mau makan buah Sawu Manila yang sudah termasuk tanaman langka. Dan, untuk menjawab agar kepuhunannya tidak berlanjut, saya minta Ia mengambil sendiri buah sawu dari pohonnya.
Sambil tersenyum, Ia mengambil sendiri buah Sawu Manila. Ambil saja yang banyak bu, kata saya. Ia asyik mengambil, entah itu masak di pohon ataupun tidak. Menurut dia, buahnya bisa diperam beberapa hari sampai masak.
Yang jelas kata dia, setelah bisa mendapatkan buah Sawu Manila itu, rasa penasaranya pun jadi hilang. Dan, persoalan kepuhunan yang sempat Ia alami beberapa hari sudah terbayar lunas. "Terima kasih Pak Sikra, ulun kada kepuhunan lagi," kata ibu itu sambil tersenyum.
Persoalan kepuhunan ini, jadi ingat ketika mantan Menteri Agama yang tertusuk duri ikan pari di Pulau Sangalaki. Sempat membuat pemkab kalang kabut. Maklum, dampak dari tusukan duri ikan pari yang berada di bagian ekor, lumayan menyiksa badan.
Usut punya usut, menurut cerita warga di Pulau Derawan, sebelum berangkat ke Sangalaki, sempat ditawari untuk mencicipi kopi di tempatnya menginap. Namun, dijawab oleh menteri, nanti saja.
Terlepas ada hubungannya atau tidak, oleh warga itu disebut kepuhunan. Tapi, beda dengan kepuhunannya si ibu-ibu itu yang ingin sekali buah Sawu Manila di halaman rumah saya. @cds_daengsikra (*/sam)