Membaca Peta

- Selasa, 30 Mei 2023 | 15:05 WIB
-
-

LIMA atau sepuluh tahun silam, dimana-mana pegangan banyak orang adalah peta. Entah itu peta lokasi tambang batu bara atau perkebunan kelapa sawit.

Saya sering menyaksikan pemadangan itu. Bahkan, di luar daerah, di lobby hotel ada saja yang membahas lokasi tambang atau kebun yang ada di Berau. Lebih ironis lagi, ada yang pernah menyodorkan peta salah satu lokasi tambang batu bara pada saya.

Teman-teman yang melihat situasi itu tertawa. Bagaimana tidak, saya yang pernah bekerja di kantor yang urusannya tambang, lalu disodorkan peta itu dengan embel-embel dia bisa atur semuanya.

Saya tahu, peta yang disodorkan itu, milik teman saya yang perizinannya lengkap. Peta itu, ada juga di meja kerja saya. Makanya saya senyum-senyum saja. Teman saya yang lain, tak bisa menahan tawa.

Pernah juga, ada yang membicarakan seolah dia bagian marketing salah satu perusahaan tambang di Berau. Kami duduk berbelakangan, tapi suaranya terdengar jelas. Yang menarik, yang mengaku marketing itu, tidak tahu, kalau yang duduk bersebelahan dengan saya justru pemilik perusahaan yang Ia sebutkan.

Begitulah situasinya. Sesekali masih juga terlihat. Tapi, temanya sudah beda. Hampir tak ada lagi lahan kosong baik perkebunan maupun pertambangan.

Sekarang masih tetap membahas peta. Bedanya, kalau dulu peta pertambangan atau perkebunan. Sekarang yang mereka bahas adalah peta politik. Sekian banyak kampung dan kecamatan yang masuk dalam wilayah pemilihan, itulah yang menjadi tema.

Mau tak mau, mereka harus melakukan itu. Sehingga dalam perjalanannya nanti tidak salah. Bisa jadi soal peta politik itu, mereka bahas antarsesama partai politik. Ada juga yang meminta jasa konsultan.

Namanya konsultan politik. Konsultan mesti berbayar, yang bisa menghitung bagaimana strategi yang harus dilakukan. Konsultan bisa menghitung daerah blank spot yang bisa dimasuki. Bahkan, ada konsultan yang bisa menghitung mereka tidak mengeluarkan biaya besar.

Ada teman saya yang baru kali pertama mau ikut ke arena politik. Dia dengan gagahnya memilih daerah yang selama ini dianggap dapil neraka. Berani juga teman saya. "Saya percaya diri saja," kata teman saya.

Saya bilang, percaya diri boleh. Mulailah dengan menyebar baliho. Mulailah menugaskan orang-orang untuk turun ke lapangan. Mulailah mengukur diri sendiri, sampai sejauh mana pemilih mengenal. Dan, mulailah mengumpulkan banyak uang. Sebab, selain dapil itu disebut dapil neraka juga ada sebutan lain dapil ganal ongkos.

Ada yang dijadikan suara rebutan. Pengumpul suara yang terbilang besar di Tanjung Redeb, kini beralih ke provinsi. Ini juga salah satu yang jadi pusat putaran perhitungan untuk untuk bisa merebut suara yang ditinggalkan.

Harus dicatat di masing-masing daerah pemilihan. Ada calon yang menurut survei tak bisa digoyang lagi. Bagaimanapun situasinya, dia menjadi pengumpul suara terbanyak. Karena dia selama duduk terus mencurahkan perhatian di daerah pemilihannya. Dan, hampir pasti duduk di kursi DPRD.

Bagi saya, yang perlu dipelajari petanya, yakni calon yang akan diusung di DPR-RI. Beberapa kali pemilihan, tak pernah sekalipun ada warga Berau yang hadir di Senayan. Padahal, pemilihnya lumayan banyak. Bisa mendudukkan minimal satu orang.

Halaman:

Editor: uki-Berau Post

Tags

Rekomendasi

Terkini

Penerimaan Polri Ada Jalur Kompetensi

Jumat, 19 April 2024 | 14:00 WIB

Warga Balikpapan Diimbau Waspada DBD

Jumat, 19 April 2024 | 13:30 WIB

Kubar Mulai Terapkan QR Code pada Pembelian BBM

Jumat, 19 April 2024 | 13:00 WIB

Jatah Perbaikan Jalan Belum Jelas

Jumat, 19 April 2024 | 12:30 WIB

Manajemen Mal Dianggap Abaikan Keselamatan

Jumat, 19 April 2024 | 08:25 WIB

Korban Diseruduk Mobil Meninggal Dunia

Jumat, 19 April 2024 | 08:24 WIB

Mulai Sesak..!! 60 Ribu Pendatang Serbu Balikpapan

Jumat, 19 April 2024 | 08:19 WIB
X